BIMATA.ID, Jakarta- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta mengatakan tindakan pemerintah menghapus mural dan mengkriminalisasi seniman adalah bentuk pembungkaman berekspresi dan berpendapat.
Dalam konteks penghapusan mural ‘Jokowi’ 404 Not Found di Tangerang, LBH Jakarta juga menilai pemerintah anti-kritik karena tindakan tersebut.
Pengacara publik LBH Jakarta Shaleh Al Ghifari mengatakan tindakan penghapusan mural merupakan bukti kemunduran demokrasi dengan bentuk pembungkaman kebebasan berpendapat.
“Tindakan penghapusan mural dan grafiti tersebut merupakan bukti nyata kemunduran demokrasi yang ditandai dengan ruang kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terus menyempit serta menunjukkan bahwa pemerintah semakin anti terhadap kritik masyarakat,” kata Shaleh, dikutip dari keterangan tertulis, Selasa (17/08/2021).
Pihaknya menilai mural dan grafiti yang berisi kritik terhadap pemerintah adalah bentuk ekspresi dan aspirasi yang disampaikan melalui seni.
Bentuk menyampaikan ekspresi melalui seni tersebut dijamin dan dilindungi dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Hak-hak Sipil, dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
“Oleh karena itu, penghapusan dan ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat pembuat mural dan grafiti adalah tindakan represi dan pembungkaman terhadap ekspresi dan aspirasi masyarakat,” ujar Shaleh.
LBH Jakarta juga menilai tidak ada alasan pembenaran yang dapat dijadikan argumentasi untuk menghapus dan mengkriminalkan mural tersebut.
Sebabnya, pembatasan kebebasan berekspresi harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang untuk melindungi kepentingan publik, keamanan nasional, melindungi hak orang lain serta untuk tujuan yang sah.
Lebih lanjut, LBH menilai kepolisian tidak dapat memproses hukum orang-orang pembuat mural tersebut dengan alasan Presiden Jokowi adalah pemimpin dan lambang negara.
Sebabnya, presiden bukan merupakan lambang negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36 (A) UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan.
“Selain itu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan bahwa Pasal 134, 136, dan 137 KUHP terkait delik penghinaan presiden bertentangan dengan konstitusi sehingga harus dibatalkan,” katanya.
Shaleh juga menilai pesan dalam mural tersebut merupakan kritik terhadap negara dan aspirasi kritis warga terhadap pemerintah.
Jika memang dinilai ada keberatan atau terdapat dugaan pelanggaran, LBH menilai maka sifat pelanggaran tersebut berbentuk hukum keperdataan atau pelanggaran administratif bukan pidana.
“Yang dapat mengajukan keberatan adalah pemilik dari medium tempat di mana mural berada serta semestinya dapat diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian sengketa kerugian keperdataan atau administrasi bukan pendekatan penegakan hukum pidana,” tutur Shaleh.
(ZBP)