Bimata

Legislator Gerindra Usul Rokok Elektrik Masuk Dalam RUU KUP

BIMATA.ID, Jakarta — Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Heri Gunawan mengatakan agar aturan mengenai rokok elektrik pada dasarnya tersirat dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c Undang Undang (UU) Cukai, namun bunyinya masih samar dan kurang eksplisit. 

“Pengaturan lebih jelasnya diatur pada PMK 198/2020 dimana pada Pasal 1, Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 16 menjelaskan tentang definisi, cakupan dan tarif Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL), termasuk diantaranya menyebutkan mengenai rokok elektrik,” kata Heri Gunawan, Senin 30 Agustus 2021

Menurutnya, seiring dengan perkembangan teknologi, dimana konsumsi rokok elektrik mulai meningkat, maka idealnya pengaturan tentang cukai rokok elektrik juga perlu diatur dalam UU. Dalam hal ini pengaturan tersebut juga perlu dimasukkan dalam RUU KUP.

Baca Juga : Heri Gunawan: Penyederhaan Tarif CHT Sebaiknya Diatur dalam RUU KUP

Dia menilai bahwa saat ini dia mendapatkan banyak yang menghindari pajak karena layer jadi secara umum akan memberikan dampak bagi penerimaan perpajakan dan potensi penerimaan negara juga terlihat pada rokok elektrik.

“Rasio perpajakan Indonesia mengalami tren penurunan. Pada 2018 sebesar 10,2%, kemudian pada 2019 menurun menjadi 9,8%, lalu 2020 turun kembali menjadi 8,3%, dan pada 2021 diperkirakan akan turun lagi menjadi 8,2%. Turunnya rasio perpajakan ini menjadi salah satu landasan diajukannya pembahasan RUU KUP, yakni untuk melakukan reformasi perpajakan dan memperluas basis perpajakan,” urainya

Salah satu reformasi perpajakan yang perlu diusulkan adalah dengan membunyikan penyederhanaan layer tarif CHT dan pengaturan HPTL dalam UU, sehingga diharapkan bisa meningkatkan penerimaan dan rasio perpajakan. 

“Pada RAPBN 2022, penerimaan cukai ditargetkan mencapai Rp 203,9 triliun. Dengan usulan tersebut, maka penerimaan cukai bisa lebih meningkat secara signifikan,” lanjutnya.

Patut dipahami secara seksama bahwa aturan layer cukai rokok yang saat ini berlaku bisa dimanipulasi oleh pabrikan multinasional dengan memproduksi masing-masing segmen (SKM dan SPM) tidak melebihi 3 miliar batang per tahun. Sehingga, pabrik rokok besar bisa membayar cukai yang sama murahnya dengan pabrikan menengah dan kecil.

Setidaknya ada 3 dampak buruk akibat manipulasi tersebut. Pertama, merugikan keuangan negara karena cukai yang dibayarkan kepada negara menjadi lebih kecil. Kedua, perusahaan besar bisa menjual produknya dengan harga yang lebih murah sehingga menciptakan iklim persaingan yang tidak sehat. Dan Ketiga, akibat persaingan tidak sehat tersebut bisa mematikan pabrikan kelas menengah dan kecil.

“Solusinya, perlu segera dilakukan simplifikasi dan penggabungan perhitungan total SKM dan SPM. Simplifikasi akan  secara tegas memisahkan antara pabrikan kelas besar dengan pabrikan kelas menengah dan kecil. Sehingga tidak lagi terjadi perusahaan besar akan berkompetisi secara langsung dengan pabrikan kelas menengah dan kecil,” Hergun menjelaskan.

Jadi, anggapan yang menyatakan penyederhanaan layer akan merugikan pabrik rokok kecil dan menengah serta merugikan buruh dan petani tembakau, sesungguhnya perlu dikaji ulang. 

Simplifikasi layer cukai hasil tembakau justru menyelamatkan pabrik rokok kelas menengah dan kecil serta juga menyelamatkan para petani tembakau karena pabrik kelas menengah dan kecil tersebut terjaga usahanya sehingga bisa tetap menyerap hasil tembakau dari para petani.

Usman

Exit mobile version