BIMATA.ID, Jakarta — Anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Heri Gunawan mengatakan penyederhaan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebaiknya diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) ketentuan Umum Perpajakan (KUP) agar tidak menimbulkan kesan penghindaran pajak.
Hal itu disampaikan pemilik sapaan Hergun ini menyikapi diajukannya RUU KUP kepada DPR RI oleh Pemerintah dalam keterangan tertulisnya kepada bimata.id, Senin, 30 Agustus 2021.
“Salah satu muatan RUU adalah mengenai perubahan terhadap UU Cukai. Namun aturan mengenai cukai hasil tembakau (CHT) tidak termasuk yang dilakukan perubahan. Salah satu isu krusial dalam CHT adalah mengenai penyederhanaan atau simplifikasi terhadap penggolongan (layer) tarif cukai rokok dan juga cukai rokok elektrik,”lanjutnya.
“Memang penerimaan cukai rokok mampu melebihi target, namun untuk lebih meningkatkan penerimaan cukai rokok apakah aturan mengenai layer cukai hasil tembakau (CHT) bisa dimasukkan ke dalam RUU KUP?,” sambungnya
Apalagi lanjut tokoh Gerindra Tanah Pasundan ini bahwa Pasal 5 ayat (5) UU 39/2007 tentang Cukai mendelegasikan kewenangan pengaturan tarif cukai kepada peraturan menteri keuangan (PMK). Sejatinya, Kata Dia Pasal 18 dan Lampiran V PMK 147/2017 sudah mengatur roadmap menuju simplifikasi atau penyederhanaan layer cukai hasil tembakau (CHT). Jumlah tarif cukai rokok dari 10 pada 2018 layer, akan disederhanakan menjadi 5 layer saja pada 2021.
Namun, roadmap simplifikasi tersebut dibatalkan oleh PMK 156/2018. Kemudian, pada 2020 diundangkan PMK 198/2020, namun tidak ada aturan mengenai simplifikasi layer.
“Saat ini, ada 10 layer tarif CHT, yaitu sigaret kretek mesin (SKM) 3 layer, sigaret putih mesin (SPM) 3 layer, dan sigaret kretek tangan (SKT)/sigaret putih tangan (SPT) 4 layer,”paparnya.
Heri Gunawan menegaskan bahwa pada PMK 198/2020, dijelaskan bahwa dalam SKM dan SPM, pembagian golongan diatur dengan jumlah produksi per tahun. Golongan Pengusaha Pabrik yang memproduksi di atas 3 miliar batang rokok per tahun dikenakan tarif paling mahal, sedangkan yang memproduksi kurang dari 3 miliar batang per tahun, dikenakan tarif yang lebih murah.
“Batasan jumlah produksi 3 miliar yang sejatinya bertujuan memisahkan pabrikan besar dan kecil pada praktiknya menjadi sumber persoalan. Pemisahan segmentasi SKM dan SPM justru mendorong munculnya praktik penghindaran pajak,”tegasnya.
Ada sejumlah perusahaan rokok multinasional yang sengaja memproduksi rokok di bawah 3 miliar batang untuk masing-masing segmen SKM dan SPM sehingga membayar cukai dengan tarif yang lebih murah.
“Adanya persoalan tersebut, maka terbuka peluang untuk memasukkan struktur tarif/layer cukai hasil tembakau pada RUU KUP yakni pada Pasal 44F. Jika itu terjadi, maka nantinya RUU KUP tidak hanya mengubah Pasal 4 UU Cukai namun juga akan mengubah Pasal 5 yang mengatur tentang tarif cukai, “lanjut Hergun.
Struktur tarif CHT memang mestinya lebih disederhanakan contoh, menjadi 5 layer saja dan dibunyikan dalam UU sehingga lebih memiliki kepastian hukum dan menjamin rasa keadilan. Hal tersebut seperti UU PPh Pasal 17 yang saat ini mengatur lapisan penghasilan kena pajak hanya 4 layer saja. Jumlah layer yang sederhana akan memudahkan dalam pengawasannya.
(***)