BIMATA.ID, Jakarta- Manusia adalah makhluk berbahasa, oleh karenanya disebut animal symbolicum. Permasalahan bahasa yang sering ditemukan adalah bagaimana bahasa diucapkan (kaidah fonologi) dan bagaimana bahasa dituliskan (kaidah ejaan).
Salah satu hal yang menarik adalah fenomena kata (tulisan) ‘Allah’ dan ‘Alloh’, ‘amin’ dan ‘aamiin’. Kata ‘Allah’ yang merupakan kata untuk menunjuk Tuhan secara ejaan bahasa Indonesia, seharusnya ditulis ‘Allah’.
Terkait hal itu, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Siliwangi Yusep Ahmadi F memaparkan penjelasannya dalam esai berikut ini.
Orang Indonesia masih sering mendapati tulisan ‘Alloh’ dalam berbagai jenis tulisan. Padahal sudah sejak lama ‘Allah’ dibakukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Selain itu, kata yang sering pula salah tulis adalah kata ‘amin’. Masih banyak orang menulisnya dengan ‘Aamiin’. Kata amin yang juga merupakan kata serapan dari bahasa Arab juga sudah dibakukan dalam bahasa Indonesia.
Kata ‘amin’ secara leksikal bermakna kabulkanlah atau terimalah. Lalu, mengapa masyarakat kita masih banyak yang salah tulis?
Ditinjau dari konteks penggunaannya, kata ‘Allah’ dan ‘amin’ sering digunakan saat orang berdoa. Ketika berdoa, kita sering mengucapkan kata itu dengan penuh kekhidmatan dan kekhusukan (sakral). Kata ‘Allah’ sejatinya.
Kata ‘amin’ Ketika diucapkan dalam konteks berdoa hal itu terjadi karena seorang muslim yang berdoa secara inheren pasti tidak bisa lepas dengan aturan baca Al-Qur’an (tajwid, makhorijul huruf, sifatul huruf, dll.)
Alih-alih sedang baca Al-Qur’an, kata ‘Allah’ ditulis menjadi ‘Alloh’ dan kata ‘amin’ ditulis menjadi ‘aamiin’.
Boleh jadi, dengan menulis seperti itu, sebagian masyarakat merasa terwakili dengan apa yang diucapkannya. Padahal, kalau ditranskrispsikan secara fonetik, penulisan seperti itu tidak tepat atau tidak mewakili bunyi yang seharusnya.
Tampak di sini ada semacam benturan atau ketidakselarasan antara ragam lisan dan ragam tulisan: Bahasa awalnya diujarkan اَللهُ dan آمين kemudian harus berubah menjadi ‘Allah’ dan ‘amin’ dalam bahasa tulis bahasa Indonesia.
Mengikuti pendapat van Dijk (2009), bahasa tidak terlepas dari ideologi pengujarnya. Oleh karena itu, seorang muslim ketika menulis kata ‘Allah’ dan ‘amin’ masih banyak yang menulisnya dengan ‘Alloh’ dan ‘aamiin’.
Boleh jadi, hal ini merepresentasikan bahwa mereka yang masih menulis ‘Alloh’ dan ‘aamiin’ punya kesadaran ideologi (sistem ide) agama yang lebih dominan dibanding ideologinya sebagai penutur bahasa Indonesia.
Berangkat dari sana, fenomena semacam ini bisa dikatakan sebagai “fenomena kata yang belum bisa keluar dari habitusnya”.
Meminjam pandangan Bourdieu (dalam Lee, 2015) habitus dapat dimaknai sebagai aturan, adat, kebiasaan yang menjadi ciri khas suatu kelompok kultural.
Boleh jadi kata اَللهُ dan آمين belum bisa keluar dari habitusnya sebagai bahasa Arab-Al-Qur’an yang digunakan muslim saat berdoa.
Oleh karenanya, masih banyak masyarakat yang salah menuliskan kata ‘Allah’ dan ‘amin’ sebagai bahasa Indonesia.
Dengan kata lain, sebagian dari kita masih ada yang belum cakap dalam berbahasa yang sesuai konteks. Tampak masih ada campur aduk antara konteks berbahasa arab-Al-Qur’an dan konteks berbahasa Indonesia.
Beranjak dari sana, ternyata berbahasa merupakan sesuatu yang kompleks. Baiknya guru bahasa Indonesia tidak langsung menghakimi masyarakat yang masih salah tulis dengan hujatan. Mari benahi bahasa Indonesia dengan ilmu dan cinta.