BIMATA.ID, Jakarta- Koordinator Kelompok Ahli BNN, Komjen Pol (Purn) Ahwil Luthan membeberkan alasan Indonesia masih melarang ganja dan menempatkannya sebagai narkotika golongan I.
Diketahui, pada akhir tahun lalu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) merestui rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menghapus tanaman itu dari kategori obat paling berbahaya. Sebanyak 27 dari 53 negara anggota Komisi Obat Narkotika (CND) menyatakan dukungan dengan mengizinkan penggunaan ganja untuk tujuan medis.
Dia menjelaskan, ganja atau cannabis sativa atau yang kesohor di dunia internasional dengan nama mariyuana memiliki dua zat yang sangat menentukan, yakni THC atau tetrahydrocannabinol dan CBD atau cannabidiol.
Dikatakan, zat CBD memang memiliki manfaat dari sisi medis, sementara zat THC justru berbahaya karena dapat menyebabkan sejumlah gangguan kesehatan seperti disorientasi waktu dan tempat. Ahwil mengungkapkan, ganja di Indonesia memiliki kandungan THC sangat tinggi mencapai sekitar 18%, sementara kandungan CBD mendekati 0%.
“Mungkin ini karena jenis tanamannya, mungkin matahari, tempat penanaman, dan ketinggian dan lain-lain, zat THC dari ganja-ganja di Indonesia, apalagi yang dari Aceh itu di atas 18%. Sedangkan cannabidiol-nya mendekati zero. Sedangkan yang kita perlukan CBD-nya ini. Cannabidiol-nya ini. Ini yang berguna untuk dunia medis. Ini utk Indonesia. Kita bicara Indonesia,” kata Ahwil, Senin (26/07/2021).
Ahwil membeberkan bahaya zat THC. Dalam kasus penggunaan ganja oleh seorang pilot misalnya, Ahwil mengatakan, zat THC dapat membuat pilot kehilangan orientasi penglihatan yang berbahaya bagi dunia penerbangan. Ahwil juga mencontohkan kasus kecelakaan maut di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat pada 2012 silam yang menewaskan sejumlah pengguna jalan. Saat itu, kata Ahwil, lantaran pengaruh ganja, pelaku merasa sudah menginjak pedal rem, namun ternyata yang diinjak pedal gas.
“Ya itu karena disorientasi penglihatan itu. Itu yang berbahaya di THC itu tadi. Sedangkan yang berguna untuk dunia medis tadi adalah CBD,” katanya.
Lebih jauh, Ahwil mengatakan, Indonesia masih terikat dengan Konvensi Tunggal tentang Narkotika PBB atau Single Convention on Narcotic Drugs tahun 1961 yang terdiri dari tiga poin utama, yakni opium, koka dan mariyuana. Selain itu, Indonesia juga terikat dengan Convention on Psychotropic tahun 1971 yang sudah dituangkan dalam UU Narkotika.
Ahwil mengingatkan di banyak negara yang saat ini telah melegalkan, pohon ganja yang ditanam umumnya telah mengalami rekayasa genetika yang membuat kandungan zat THC turun, dan di sisi lain kandungan zat CBD meningkat. Dengan kondisi saat ini, Ahwil mengatakan, Indonesia belum mampu untuk membuat rekayasa tersebut.
“Ini kan teknologi nya cukup tinggi. Jangankan yang itu, kita sekarang untuk mengatasi pandemi saja pusing. Rekayasa genetik itu pasti sangat mahal. Dan kebetulan ini dari beberapa jenis ganja yang pernah kita dapatkan, karena, misalnya ganja yang terkenal untuk Eropa itu dari Maroko, itu THC-nya masih di bawah ganja Aceh. Dari Afghanistan itu masih di bawah, yang dari Amerika Latin itu juga THC-nya masih di bawah. Jadi THC yang ada di kita khususnya yang dari Aceh itu adalah 18%, ada yang di atas. Ini sangat tinggi sekali. Sedangkan CBD-nya tidak sampai,” katanya.
Negara-negara yang melegalkan penggunaan ganja pun memiliki aturan yang ketat. Di Belanda, misalnya, masyarakat hanya dapat mengonsumsi ganja di tempat-tempat yang telah ditentukan dengan pengawasan ketat. Hal ini menutup ruang adanya peredaran gelap ganja.
(Bagus)