BIMATA.ID, Jakarta – Kasubdit Penyidikan Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, Imam Subandi mengungkapkan, aksi terorisme di Indonesia merupakan metamorfosis dari rasa ketidakpuasan kekuasaan politik pada masa lalu.
“Kalau kita lihat sejarah awalnya tidak murni agama, tetapi politik kekuasaan,” ungkapnya, Selasa (27/07/2021).
Imam menilai, keadaan sekarang tidak bisa dilepaskan dari sejarah masa lalu, saat terjadi revolusi 1945-an dan 1980-an munculnya Negara Islam Indonesia (NII) yang kemudian bermetamorfosis.
Ketidakpuasan itu disakralisasi dan diubah ke arah isu-isu agama, yang pada akhirnya muncul penggunaan isu-isu keagamaan menjadi dasar atau alasan lahirnya aksi-aksi teror.
Saat NII muncul, pemerintah mengambil langkah tegas dengan menumpas organisasi tersebut. Tidak sampai di situ, lahir pula Jamaah Islamiyah (JI) kemudian bermetamorfosis menjadi Majelis Mujahidin Indonesia dan lain sebagainya.
Jika ditarik benang merah jauh ke belakang, maka aksi-aksi terorisme yang terjadi masih berkaitan dengan masa lalu. Hal ini, juga masih berkaitan dengan hilangnya tujuh kata dalam Pancasila dan terkait penumpasan yang cukup keras terhadap orang-orang yang menginginkan Indonesia dibangun atas dasar hukum Islam.
Sebab itu, Imam mengatakan, adanya aksi-aksi terorisme di tanah air terjadi karena rasa tidak puas atas kekuasaan politik yang dimulai dari NII, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga membentuk wujud yang lebih konkret, yakni terorisme.
Terorisme bisa saja muncul dari agama-agama lain, tergantung dari bentuk ketidakpuasan di suatu negara. Misal di Inggris yang didominasi nonmuslim, maka teroris bisa muncul dari agama di luar islam.
“Atau misalkan terjadi di India, maka agama Hindu atau Sikhisme sebagai latar belakang rasa ketidakpuasan bisa melakukan aksi terorisme,” katanya.
Begitu juga di negara-negara lain yang mayoritas bukan Muslim, ketika merasa terjadi ketidakpuasan atau tidak ada keadilan, maka jalan kekerasan bisa menjadi pilihan bagi mereka.
[MBN]