BIMATA.ID, Batu – Pihak Sekolah Menengah Atas (SMA) Selamat Pagi Indonesia (SPI) Kota Batu, Provinsi Jawa Timur (Jatim), membantah kasus dugaan eksploitasi siswa yang dituduhkan kepada sekolahnya. Sebab, pihak sekolah mengaku telah menjalankan Proses Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) sesui aturan yang berlaku.
Kuasa Hukum SMA SPI, Ade Dharma Maryanto mengungkapkan, SMA SPI memiliki dua program pembelajaran. Di antaranya pendidikan reguler dan program unggulan, yakni Unit Praktik Lapangan (UPL).
Pada program UPL itu, para siswa diberikan pelatihan dan pengetahuan maupun keterampilan taktis. Mereka yang mengikuti program tersebut bisa memperoleh sertifikasi.
“Sertifikasi itu akan berguna bagi para siswa untuk memperoleh pekerjaan di kemudian hari atau mengembangkan potensi diri,” ungkapnya, Jumat (11/06/2021).
Adapun program pendidikan UPL itu merupakan bagian kurikulum pendidikan yang diawasi oleh Dinas Pendidikan Kota Batu dan Dinas Pendidikan Provinsi Jatim.
Kemudian Ade menjelaskan, pengupahan dan jam kerja pada program UPL tersebut diisukan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku terhadap para siswa. Padahal, seluruh kegiatan program UPL ini dilaksanakan pada jam pelajaran dan dalam pengawasan guru pendamping.
“Jadi tidak ada kegiatan yang berada di luar jam belajar mengajar. Selesai kegiatan belajar mengajar, para siswa kembali ke asrama,” pungkasnya.
Ade menambahkan, di asrama dalam pengawasan Ibu Asrama. Demikian juga untuk aktivitas di luar sekolah, di mana ada guru yang mendampingi.
Selain itu, pihak SMA SPI mengklaim, tidak pernah sekalipun memaksa para siswanya untuk mengikuti program UPL. SMA SPI juga tidak pernah memaksa kepada alumni dan siswa untuk tetap tinggal dan mengelola program UPL.
“Jadi, ketika para siswa ini lulus, mereka sendiri yang mengajukan kepada pihak SPI untuk turut berkontribusi mengembangkan program UPL, sehingga sekolah bisa berkembang sampai seperti saat ini,” jelasnya.
Sebelumnya, jumlah pelapor dugaan kekerasan seksual di SMA SPI Kota Batu, Provinsi Jatim, telah menembus 29 orang. Jumlah ini berdasarkan data dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Batu.
Puluhan pelapor tersebut merupakan para korban dugaan kekerasan seksual, fisik, verbal, serta eksploitasi ekonomi. Mereka saat ini berdomisili di berbagai daerah yang ada di Indonesia.
[MBN]