BIMATA.ID, Jakarta – Pemerintah Republik Indonesia (RI) telah memberikan sejumlah insentif perpajakan sejak tahun lalu dan masih berlangsung hingga sekarang. Hal ini untuk membantu badan usaha tetap bertahan di tengah kondisi pandemi Covid-19.
Terbaru yang diberikan adalah insentif untuk sektor otomotif. Pemerintah RI memberikan diskon pajak hingga 100% atau pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mulai 0% untuk pembelian mobil baru.
Diketahui, mobil dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1.500 cc dan tingkat komponen dalam negeri minimal 70% bisa mendapatkan diskon pajak tersebut. Insentif ini dibagi menjadi tiga tahap, yakni PPnBM 0% Maret-Mei, PPnBM 50% Juni-Agustus, dan PPnBM 25% September-Desember.
Insentif itu berhasil membuat kelompok menengah ke atas berbondong-bondong membeli mobil baru. Hal ini tercermin dari penjualan dan produksi mobil dalam negeri meningkat pesat pada kuartal I tahun 2021.
Namun, di tengah insentif yang diberikan pada ‘orang kaya’ tersebut, mirisnya ‘orang miskin’ justru akan semakin sengsara. Bagaimana tidak? Barang kebutuhan pokok atau sembako yang dibutuhkan semakin mahal, karena akan dikenakan pajak.
Pemerintah RI diketahui berencana memajaki produk sembako di tahun depan melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12%. Padahal, saat ini barang sembako tidak kena pajak.
Rencana itu tertuang dalam revisi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang beredar.
Dalam Pasal 4A draft RUU KUP tersebut, Pemerintah RI menghapus beberapa jenis barang yang tidak dikenai PPN, diantaranya barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Artinya, sembako akan dikenakan PPN.
Adapun barang sembako yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Menkeu) RI Nomor 116/PMK.010/2017 meliputi beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.
Rencana itu tentu meresahkan banyak orang miskin. Sebab, harga barang semakin mahal dan akan semakin sulit untuk membeli karena penghasilan yang kecil, terutama saat pandemi Covid-19 banyak yang kehilangan sumber penghasilan.
Ekonom Senior CORE, Piter Abdullah mengatakan, seharusnya dalam kondisi seperti ini Pemerintah RI tidak menaikkan ataupun menambah barang kena PPN, terutama barang kebutuhan primer seperti sembako.
Pemerintah RI seharusnya tetap fokus memberikan bantuan bagi masyarakat miskin dan bukan justru membuat semakin terbebani. Selain membuat masyarakat miskin semakin menderita, hal ini juga dinilai akan berdampak pada proses pemulihan ekonomi yang tengah berlangsung.
“Saya rasa Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali rencana ini,” katanya.
[MBN]