BIMATA.ID, Jakarta- Indonesia memiliki cita-cita untuk menjadi raja baterai dunia. Hal ini ditandai dengan membentuk Holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) industri baterai terintegrasi dari hulu hingga hilir bernama Indonesia Battery Corporation (IBC).
Namun ternyata, cita-cita besar RI ini bisa menjadi ancaman bagi konsumen nikel dunia. Kenapa begitu?
Steven Brown, praktisi industri nikel, dalam diskusi terkait hilirisasi nikel secara daring, Selasa (29/06/2021) menjelaskan bahwa untuk bisa melakukan transisi energi, diperlukan kurang lebih 1 juta ton logam nikel tambahan pada 2030.
“Untuk bisa sukses transisi energi, kita perlu kurang lebih 1 juta ton nikel tambahan, sebelum tahun 2030 perlu tambahan kapasitas 1 juta ton,” ungkapnya.
Produksi nikel selama ini menurutnya terus bertambah dalam beberapa tahun terakhir, sesuai dengan pertumbuhan permintaan. Alhasil, sampai saat ini tidak terjadi kekurangan pasokan nikel.
“Gak ada kekurangan nikel saat ini, malah masih surplus, sedikit kelebihan produksi dari demand,” ujarnya.
Penambahan produksi nikel ini hanya terjadi di Indonesia. Sementara produksi di luar negeri malah mengalami penurunan. Kondisi ini merupakan hal baik bagi Indonesia, namun menurutnya ini akan menjadi ancaman bagi pihak luar.
“Tapi pertumbuhan dalam nikel hanya terjadi di Indonesia, di luar malah turun, dan ini baik untuk Indonesia, tapi untuk pengguna nikel di luar, ini menjadi ancaman,” ucapnya.
Menurutnya, peningkatan produksi terjadi untuk nikel kelas dua seperti feronikel dan nickel pig iron (NPI), sementara nikel kelas satu tidak ada pertumbuhan. Nikel yang digunakan untuk baterai adalah nikel kelas satu seperti nikel sulfat, sementara nikel kelas dua untuk stainless steel.
“Pertumbuhan yang terjadi belum ada sama sekali untuk smelter kelas satu yang digunakan untuk baterai,” imbuhnya.
Dia mengatakan, beberapa proyek smelter nikel kelas satu untuk baterai sudah diumumkan dan semuanya berada di Indonesia. Diperkirakan, dua per tiganya akan berada di Indonesia dan terbangun lebih dahulu.
“Beberapa proyek di-announced, hampir semua ada di Indonesia. Proyek pipeline mungkin dua per tiganya ada di Indonesia, yang akan terbangun dulu di Indonesia, yang non Indonesia masih jauh sekali dari tahap konstruksi,” jelasnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, proyek yang diumumkan di Indonesia jauh lebih baik karena biaya modal lebih rendah dan jadwal konstruksi bisa lebih singkat.
“Namun ada isu sedikit, adalah environmental dan social, serta government. Kalau dilihat dari standar yang ada, Indonesia punya risiko lebih tinggi pada environmental dan social government daripada proyek di luar Indonesia,” paparnya.
(Bagus)