Nasional

Heri Gunawan Kritik Sikap Mendua BPK soal Utang Pemerintah

BIMATA.ID, Jakarta – Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengeritik tajam sikap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mendua atas persoalan utang Pemerintah. Di satu sisi BPK memberi penilaian Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan Pemerintah, di sisi lain mengkhawatiirkan kemampuan Pemerintah membayar utang.

Dalam keterangan persnya, Hergun, sapaan akrab Heri Gunawan, menjelaskan, penambahan utang Pemerintah dan biaya bunga telah melampui pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dan penerimaan negara.

“Ini memang sangat mengkhawatirkan. Namun, ironis BPK malah menghadiahi WTP bagi Pemerintah. Ini kan, aneh. BPK memberi penilaian WTP, namun di sisi lain mengkhawatirkan utang Pemerintah. Rakyat jadi bingung atas sikap mendua BPK,” kata Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Gerindra di Komisi XI itu.

Sikap mendua itu diketahui saat Ketua BPK Agung Firman Sampurna berpidato di hadapan Sidang Paripurna DPR dengan menyebut indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan International Debt Relief (IDR). Sepanjang tahun 2020, utang Pemerintah sudah mencapai Rp6.074,56 triliun. Posisi utang ini meningkat pesat dibandingkan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp4.778 triliun.

Dijelaskan Hergun, rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen. Angkanya melampaui rekomendasi IMF pada rentang 25-35 persen. Begitu juga pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-10 persen.

“Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen,” urainya.

Selain itu, sepanjang tahun 2020, pendapatan negara dan hibah mencapai Rp1.647,78 triliun atau 96,93 persen dari anggaran. Sedangkan realisasi belanjanya mencapai Rp 2.595,48 triliun atau 94,75 persen. Dengan demikian, fiskal mengalami defisit sebesar Rp947,70 triliun atau sekitar 6,14 persen dari PDB. Di sisi realisasi pembiayaan 2020 mencapai Rp1.193,29 triliun atau sebesar 125,91 persen dari nilai defisitnya, sehingga terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp245,59 triliun. Artinya, pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit.

“Memang pandemi Covid-19 telah meningkatkan defisit, utang, dan SiLPA yang berdampak pada pengelolaan fiskal. Namun, sebaiknya BPK juga perlu melihat UU Nomor 2 Tahun 2020 sebagai dasar hukum pembengkakan defisit tersebut,” jelas Hergun.

Legislator dapil Jawa Barat IV ini pun menyayangkan BPK hanya menyebut Perpres Nomor 72 dan UU Keuangan Negara. Padahal, kedua aturan tersebut terkait dengan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020.

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close