BIMATA.ID, Jakarta – Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Haris Azhar menilai, penanganan kasus Jiwasraya dan Asabri harus memberi kepastian hukum, dilakukan secara benar, konsisten, dan tanpa disparitas.
Ia menyampaikan, banyaknya investor yang pergi dari Indonesia, karena menganggap tidak ada kepastian penegakan hukum.
“Ini juga catatan bagi OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Kalau memang dianggap ada salah kelola terhadap dana asuransi atau para emiten tersebut ditengarai bermasalah di pasar modal. Kenapa selama ini diam saja? Padahal asuransi dan pasar modal adalah ranah pengawasan OJK,” ucap Haris, Kamis (10/06/2021).
Haris menyebutkan, dalam proses penanganan Jiwasraya dan Asabri ada penyitaan yang diduga tidak tepat, tidak proporsional, dan tidak ada kaitan dengan kejahatan.
Bahkan, bila ditelusuri kembali, dari 124 emiten yang sahamnya dibeli oleh Jiwasraya hanya dua di antaranya yang dianggap melakukan tindak pidana, tanpa ada pemeriksaan terhadap yang lain.
Ia menjelaskan, terdapat aset yang akan dilakukan pelelangan, karena disebutkan berpotensi rusak. Hal ini karena penyidik tidak bisa mengelola atau tidak tahu cara menyikapi aset sitaan, padahal aset tersebut tidak berkaitan dengan tindak pidana.
“Penyidik mengatakan bahwa aset tersebut disita untuk uang pengganti. Padahal, Pasal 18 Ayat 2 UU Tipikor sudah menyebutkan dengan sangat jelas bahwa apabila dalam waktu satu bulan setelah inkrah terpidana tidak bisa membayar uang pengganti, maka hartanya bisa disita. Artinya, penyitaan baru bisa dilakukan setelah perkaranya berkekuatan hukum tetap,” jelas Haris.
Haris mengemukakan, pejabat dan pengamat hendaknya tidak berpendapat dengan narasi umum saja, namun harus melihat praktik dan riilnya. Ia menilai, bukan tidak mungkin kasus Jiwasraya akan menjadi template skandal di kancah pasar modal Indonesia di kemudian hari.
Senada dengan Haris, Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar menyatakan, sejatinya perkara pidana adalah mengadili perbuatan perorangan. Penyitaan aset hanyalah sebagai bukti penguat dalam sebuah tindak pidana.
Ia mengungkapkan, jika aset itu berkaitan dengan kepentingan umum, tidak ada alasan bagi kejaksaan untuk menyitanya.
“Karena menyita itu untuk membuat barang bukti yang cukup dengan contoh atau sampel saja,” ungkap Fickar.
[MBN]