Ekonomi Dan Pertahanan Indonesia Wajib Diperkuat
BIMATA.ID, Jakarta — Tuntutan membawa bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kuat maka pembangunan ekonomi yang saat ini terus digencarkan dengan berbagai program perlu dibarengi dengan pertahanan yang kuat melalui modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) apalagi jika ingin menempatkan Indonesia kuat di kawasan Indo-Pasifik, termasuk ASEAN.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Pertamina, Ian Montratama mengatakan dalam rilis yang di post Politik Rmol, menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi dan pertahanan yang kuat akan menjadi negara yang diperhitungkan dan memiliki posisi strategis jika berhadapan dengan negara lainnya.
“Pembangunan pertahanan harus diimbangi dengan pembangunan ekonomi,” kata Ian Montratama, Jumat (18/6/2021).
Menurut Ian Montratama pembangunan pertahanan di Indonesia telah dimulai sejak pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dengan kebijakan Kekuatan Pokok Minimum atau dikenal dengan Minimum Essential Force (MEF) yang membagi tiga tahap.
Namun pada pelaksanaannya, ternyata anggaran pertahanan tidak mencukupi. Alokasi anggaran pertahanan Indonesia dari Produk Domestik Bruto (PSDB) masih jauh dari rata-rata.
“Yang jadi masalah, kebijakan itu tidak didukung anggaran pertahanan yang mencukupi. Akhirnya beliau harus berkompromi dan (alokasi anggaran alutsista) di bawah 1% (dari PDB),” jelasnya.
Selanjutnya era Presiden Joko Widodo pemerintah menggagas pembangunan pertahanan, melalui rencana draf Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) Kemenhan-TNI Tahun 2020-2044.
Bila rancangan Perpres ini terealisasi, dia meyakini akan menjadi terobosan karena kontraknya dilakukan di awal namun pengadaannya jangka panjang selama 25 tahun.
“Hal tersebut membuat postur pertahanan terbangun secara utuh, berimbang dan hanya akan diadakan nanti setiap 20 tahun sekali (sesuai periode RPJPN),” urainya.
Hal ini baik karena bila pola perencanaan dan anggaran yang pernah diterapkan, pembangunan akan berjalan lambat sesuai ketersediaan anggaran. Hal ini berisiko mengingat kebijakan berpeluang berubah ketika pimpinan berganti.
“Risiko lainnya, harga alutsista meningkat sekitar 9 sampai 11 persen setiap tahunnya. Jika kita membeli banyak di depan, kita dapat menghindari risiko tingkat inflasi harga alutsista. Lebih banyak alutsista yang dapat kita adakan dengan anggaran yang sama,” ujarnya.
Sejauh ini, ia melihat tidak adanya pembangunan pertahanan membuat posisi Indonesia masih lemah. Hal inilah yang mendasari Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto memberi apresiasi kedewasaan AS dan China dalam penyelesaian konflik dalam pertemuan 8th ADMM Plus, Rabu lalu (16/6/2021).