BIMATA.ID, Jakarta- Pemerintah memutuskan revisi Undang-Undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hanya menitikberatkan terhadap penambahan penjelasan atas pasal-pasal yang dianggap pasal karet. Pemerintah dinilai tidak konsisten.
“Secara politik tentu sepertinya pemerintah tidak mau mengubah terkait pasal (pasal yang dianggap karet) itu. Tapi apa pun itu, saya melihat publik atau masyarakat sangat kecewa, karena itu kan dijanjikan langsung oleh presiden, meminta revisi, lalu ditangkap oleh DPR untuk merevisi,” kata pakar politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin.
“Tapi fakta dan kenyataannya, sampai saat ini, sampai detik ini, revisi itu hanya sekadar, mohon maaf, jualan semata, tidak pernah terjadi implementasi sebagaimana yang dituntut oleh publik,” imbuhnya.
Ujang meyakini masyarakat akan tetap ketakutan memberikan kritik keras kepada pemerintah karena pasal dalam UU ITE yang dinilai pasal karet tidak diperbaiki. Dia menilai pemerintah tidak konsisten karena hanya menambahkan penjelasan atas pasal yang dianggap pasal karet.
“Ini hanya soal, mohon maaf, penafsiran pemerintah saja, menambah penjelasan dan sebagainya, tapi tidak menghilangkan substansinya. Substansinya tetap bahwa dengan pasal yang tidak diubah itu, maka publik atau masyarakat akan ketakutan dalam konteks mengkritik pemerintah itu. Di saat yang sama pemerintah ingin membangun demokrasi, katanya kan, ingin membangun keterbukaan, tapi tindakannya tidak sesuai dengan apa yang dikemukakan,” papar Ujang.
Terpisah, pendiri lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menilai ada lima langkah yang harus dilakukan pemerintah terkait UU ITE. Pertama, pemerintah harus transparan menjelaskan mengapa revisi UU ITE tidak menyentuh pasal-pasal yang dianggap pasal karet.
“Yang pertama, hal yang harus dilakukan oleh pemerintah yang biasanya selalu kurang dilaksanakan adalah komunikasi publik, yang jarang sekali transparan. Jadi ini harus dilakukan komunikasi ke publik mengapa UU ITE ini tidak jadi direvisi sesuai dengan harapan sebagian masyarakat,” sebut Hendri.
Kedua, pemerintah harus lebih bisa menjamin kebebasan berpendapat. Ketiga, harus ada pernyataan dari Menko Polhukam Mahfud Md yang menyatakan bahwa jajaran kepolisian harus menterjemahkan arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit perihal UU ITE.
“Kemudian yang keempat, yang paling penting adalah Mahfud harus dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa pemerintah menghargai dan melindungi semua pendapat yang berbeda. Jadi jangan lagi ada orang yang dipenjara karena pendapat yang berbeda. Jadi, implementasi UU ITE itu harus seperti tujuannya di awal, jadi tidak untuk membungkam oposisi dan lawan politik,” papar Hendri.
“Satu lagi, ini Pak Mahfud terus dari kemarin. Meminta Mahfud membuka ruang dialog dengan masyarakat, mengundang akademisi, mengundang pengamat, dan yang paling penting adalah akademisi dan pengamat yang sering memberikan masukan-masukan kritis kepada pemerintah,” pungkasnya.
(Bagus)