BIMATA.ID, Jakarta- Kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini tengah mengalami situasi yang sangat sulit. Masalah internal menimpa mereka, pengaruh eksternal menghantam lumayan keras sendi-sendi tata kelola, fungsi, dan kewenangan lembaga anti rasuah ini. Beberapa peristiwa di KPK yang terjadi belakangan, memotret dengan jelas kondisi KPK sepertinya terlihat mulai loyo dan melempem dalam mengemban tugas pemberantasan korupsi di Tanah Air kita tercinta ini.
Krisis integritas dan krisis demoralisasi dialami oleh para pegawai KPK. Krisis integritas ditunjukkan saat beberapa pegawainya terlibat aksi lancung yang berkaitan langsung dengan tugas mereka dalam menangani kasus korupsi.
Salah satu pegawai KPK berinisial IGA di Direktorat Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi, terbukti mencuri 1,9 kg emas batangan yang merupakan barang bukti korupsi mantan pejabat Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan, Yaya Purnomo.
“Bentuknya adalah emas batangan, kalau ditotal semua jumlahnya adalah 1.900 gram, jadi 2 kilo kurang 100 gram,” kata Ketua Dewan Pengawas KPK Tumpak Hatorangan.
Kemudian, salah satu penyidik KPK berinisial SR ditangkap lantaran diduga memeras Walikota Tanjung Balai, H.M Syahrial sebesar Rp. 1,5 milyar. Syahrial diduga terlibat kasus jual beli jabatan di wilayah yang dipimpinnya dan tengah dalam penyelidikan KPK.
Kasus ini kemudian berkembang hingga disebut-sebut melibatkan Wakil Ketua DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar Aziz Syamsudin.
Lebih lanjut, ada dugaan orang dalam KPK yang mengetahui terkait penggeledahan terlibat dalam bocornya informasi tersebut sehingga operasi penggeledahan di kantor PT. Jhonlin Baratama dalam kasus dugaan suap Ditjen Pajak di Kalimantan Selatan, berakhir zonk alias tak menghasilkan apapun.
Rentetan kejadian busuk yang melibatkan internal KPK ini oleh sejumlah pihak disebut krisis integritas tengah melanda KPK.
Sementara krisis demoralisasi ditandai dengan banyaknya pegawai KPK yang mengundurkan diri dengan alasan alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Profesor Azyumardy Azra kedua krisis yang kemudian menyebabkan pelemahan fungsi dan kewenangan KPK tersebut karena revisi Undang-Undang KPK nomor 19 tahun 2020.
Azyumardy, mengatakan, staf-staf di KPK yang mempunyai integritas melihat bahwa perubahan status menjadi ASN dan apa yang terjadi di dalam seleksi komisioner serta di dalam revisi Undang-Undang KPK membuat mereka kehilangan harapan akan pemberantasan korupsi.
Atas dasar keyakinan bahwa revisi UU KPK itu melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, sejumlah pihak termasuk para guru besar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia, mendukung upaya judicial review UU KPK tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sayangnya, upaya itu tak dikabulkan sepenuhnya oleh MK, seperti yang tertuang dalam putusan yang dikeluarkan MK terkait uji materi tersebut, alhasil UU KPK hasil revisi masih tetap menjadi dasar operasional KPK.