BeritaEkonomiNasional

Utang Pemerintah Berpotensi Terus Membengkak

BIMATA.ID, Jakarta- Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) menyoroti utang pemerintah selama kuartal I 2021 yang tembus mencapai sebesar Rp6.445,07 triliun. Secara rasio, utang ini setara dengan 41,64 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan BPP HIPMI, Ajib Hamdani menilai, potensi utang ini akan terus membengkak pada kuartal II dan selanjutnya. Karena dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, belanja pemerintah mencapai Rp2.700 triliun, sementara penerimaan pajak masih sangat rendah.

Adapun penerimaan pajak sampai akhir Maret 2021, baru Rp228,1 triliun yang masuk ke kas negara. Angka ini terkonstraksi 5,6 persen dengan penerimaan pajak pada periode yang sama pada tahun sebelumnya.

“Kalau kita melihat kondisi per sekarang, utang pemerintah masih managable, tetapi mengarah untuk menjadi tidak managable sampai akhir 2021 ketika penggunaan utang tidak sesuai dengan arahan dan gagasan besar yang sudah dibuat oleh presiden,” jelasnya.

Pemerintah masih mempunyai amunisi untuk menambah pundi-pundi kas negara melalui utang, dengan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Artinya ini bisa menjadi sebuah pisau bermata dua, antara fleksibilitas kewenangan berhutang, sekaligus potensi debt overhang.

Namun yang perlu dicermati dan dikritisi lebih lanjut adalah, apakah utang pemerintah ini bisa mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi sehingga berujung naiknya penerimaan pajak atau tidak. Dan apakah utang pemerintah ini bisa menaikkan kinerja ekspor dan mendatangkan devisa yang berkelanjutan atau sebaliknya.

Sayangnya, beberapa data menunjukkan angka sebaliknya. Tax ratio menunjukkan tren yang masih negatif, bahkan per Desember 2020, angkanya hanya bisa bertengger di 7,9 persen. Tingkat pencapaian penerimaan pajak yang belum optimal dibandingkan dengan perputaran ekonomi yang tercermin dalam PDB.

Indikator lainnya, dalam konteks debt service ratio (DSR) semakin meningkat, artinya utang yang dicetak oleh pemerintah belum memberikan dampak secara paralel dalam peningkatan kualitas dan kuantitas ekspor. Dari dua potensi sumber penerimaan negara, pajak dan devisa, menunjukkan angka yang tidak menggembirakan.

Padahal Presiden Jokowi sudah menggariskan bagaimana seharusnya pemerintah mendesain ekonominya untuk fokus dengan dua hal. Pertama, peningkatan kualitas SDM, sehingga bisa meningkatkan produktivitas dan meningkatkan daya saing. Kedua, transformasi ekonomi, dengan eksploitasi hilirisasi, peningkatan nilai tambah, serta berorienstasi dengan ekspor dan substitusi impor.

“Arah kebijakan utang pemerintah seharusnya fokus dengan tujuan besar pemerintah tersebut,” tandasnya.

Salah satunya lewat sosok Thee Kian Wie yang merupakan pakar ekonomi kenamaan. Bulan lahirnya pun kerap diperingati setiap tahun.

“Sosok Thee Kian Wie mengajarkan kita untuk banyak belajar dari sejarah guna terus memperkuat fondasi ekonominasional,” ungkap Handoko.

Handoko mengatakan meski Thee Kian Wie sudah tiada, namun perannya masih sangat dikenang karena memberikan sumbangsih bagi pengembangan Pusat Penelitian Ekonomi dan LIPI.

“Walaupun beliau telah tiada namun nama besar almarhum telah menjadi intangible asset tidak hanya bagi Pusat Penelitian Ekonomi, namun juga secara keseluruhan bagi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,” ujar Handoko.

Tahun ini dalam rangka mengenang Thee Kian Wie, LIPI menggelar Thee Kian Wie Lecture Series dengan mengambil tema ‘Pemulihan Ekonomi dari Pandemi Covid-19: Telaah Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi’.

Acara ini menghadirkan narasumber Prof. Budy P. Resosudarmo (The Australian National University), Dr. Agustinus Prasetyantoko Rektor Universitas Katolik Atmajaya, dan Dr. Zamroni Salim (Peneliti Pusat penelitian Ekonomi LIPI). Diskusi akan dipandu moderator Dr. Purwanto (Peneliti Pusat penelitian Ekonomi LIPI).

 

(Bagus)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close