BIMATA.ID, Jakarta — Umat manusia telah memasuki era revolusi industri 4.0. Satu era di mana setiap aktivitas dan gerak manusia selalu mengandalkan bantuan teknologi. Di era ini, pesatnya perkembangan teknologi bahkan mengalahkan lajunya pertumbuhan umat manusia itu sendiri.
Di tengah seluruh kemudahan dan manfaat yang ditawarkan, tidak bisa dipungkiri jika laju perkembangan teknologi juga menyisakan residu. Kehidupan manusia berubah, nilai-nilai dan tatanan sosial lama pun ikut tergerus. Hal ini juga ikut mendistraksi penyerapan nilai dalam proses tumbuh kembang generasi muda.
Budaya pop yg didukung oleh kehadiran infrastruktur teknologi, ditandai dengan kehadiran sejumlah platform media sosial berperan sebagai mirroring yang ikut membentuk karakter generasi muda.
Hari-hari ini rasanya tidak sulit menemukan generasi muda kita yang fasih mengoperasikan media sosial berikut menyerap konten-kontennya sebagai nilai, ketimbang mengenal dan memahami budaya dan tata nilai lama yang mengakar dalam kehidupan bangsa.
Pertanyaan yang mungkin layak diutarakan dari situasi ini adalah, bagaimana upaya kolektif yang tepat untuk menyelamatkan degradasi nilai generasi muda kita? Agen-agen sosial mana yang bisa berperan untuk menanamkan nilai-nilai yang kompatibel dengan ke-Indonesia-an kita?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, penting kiranya berkaca kepada pengalaman kolektif kita sebagai bangsa. Jika degradasi nilai yang dianut oleh generasi muda saat ini dipandang sebagai problem sosial, maka tepat kiranya supaya kolektif digalakkan untuk secara bersama-sama menyelesaikan atau minimal menciptakan ketahanan sosial.
Menjawab pertanyaan kedua, peran keluarga, sekolah, lingkungan tempat tumbuh dan berkembang anak merupakan salah satu faktor kunci. Namun di luar itu, salah satu yang saat ini terlupakan adalah peran tokoh masyarakat. Guru-guru dan tetua masyarakat yang dulunya sering berperan di tengah-tengah masyarakat.
Dalam struktur masyarakat Indonesia, guru dan tetua masyarakat sering ditemui lewat sosok guru ngaji yang kerap dikenal dengan Kyai Surau. Sosok yang terkahir disebut ini adalah agen yang dalam struktur sosial masyarakat kita memiliki peran penting dalam upaya penanaman nilai-nilai generasi muda.
Melalui aktivitas belajar di surau, ada transformasi ilmu maupun nilai yang diajarkan oleh guru ngaji kepada anak-anak kita sehingga dalam tahap pembentukan karakter anak, tidak hanya peran orang tua, sekolah, maupun lingkungan, tapi juga peran guru ngaji sebagai tempat pendidikan nonformal.
Nilai-nilai sopan santun, adab belajar, dan tata krama yang diajarkan dan berkembang di tempat pendidikan nonformal seperti surau menjadi penting karena secara bersamaan tumbuh dengan kemampuan kognitif anak dalam aspek ilmu agama.
Dalam struktur masyarakat seperti Indonesia, ilmu agama merupakan dasar tempat tumbuh nilai-nilai yang akan dianut oleh generasi muda kita ke depan. Karena itu, peran seorang Kyai Surau yang mengajarkan pengetahuan agama sekaligus menanamkan nilai dan karakter anak menjadi salah satu benteng utama yang diperlukan demi menopang tumbuh kembang generasi muda yang menganut nilai-nilai ke-Indonesia-an.