BeritaEdukasiPendidikanUmum

Kisah To Sangiang – Awal Mula Kerajaan Tanete

BIMATA.ID, Bone — Pada kerajaan lain di Sulawesi Selatan, yang menjadi raja pertama merupakan sosok To Manurung, sementara To Sangiang di Tanete tidak menjadi raja pertama, bahkan To Sangiang mengangkat Datu Gollae yang berasal dari Sigeri untuk menjadi raja pertama, barulah setelah pemerintahan Datu Gollae berakhir digantikan oleh anak dari To Sangiang.

Sejarah tentang asal mula Kerajaan Tanete yang pada awalnya bernama AGANGNIONJO serta ceritera kemunculan To Sangiang digambarkan secara terperinci dalam buku Sejarah Kerajaan Tanete karya Basrah Gising (merupakan transliterasi buku Geschiedenis Van Tanete yang ditulis oleh G.K. Nieman).

Pada awalnya di daerah sebelum terbentuknya Agangnionjo terdapat beberapa perkampungan kecil yang masing-masing dipimpin seorang Arung (gelar penguasa atau bangsawan di daerah Bugis), diantaranya kampung Pangi dan Alekale yang merupakan tanah leluhur masyarakat Tanete.

Pada suatu ketika Arung Pangi pergi berburu di Gunung Jangang-jangang, mereka kemudian masuk ke dalam hutan, dan menemukan sebuah balubu (gumbang/tempayan) yang berisi penuh dengan air. Arung Pangi mengira ada orang di tempat tersebut, dugaan Arung Pangi ternyata betul, mereka bertemu dengan sepasang suami isteri di puncak gunung tersebut.

Arung Pangi kemudian bertanya kepada sepasang suami isteri tersebut perihal kenapa mereka tinggal di puncak Gunung dan dari mana asal-usul keduanya.

Namun sepasang suami isteri tersebut hanya menjawab bahwa mereka tinggal di tempat itu karena kehendak Dewata, dan tidak memberitahukan asal-usul keduanya karena menurut mereka hanya empat jumlah kemungkinan asal-usul semua manusia, yaitu rilau (Barat), riaja (Timur), riattang (Selatan) ataukah rimanorang (Utara), dan sepasang suami isteri tersebut tidak tahu yang manakah diantaranya yang merupakan asal mereka.

Ada keanehan yang dilihat Arung Pangi pada sepasang suami istri itu, ketika diajak untuk makan bersama, mereka menolak dengan mengatakan mereka tidak memakan nasi, hanya memakan ikan mentah yang dibawakan oleh burung-burung kepadanya, kemudian balubu yang digunakannya selalu terisi penuh dengan air.

Timbul dalam pikiran Arung Pangi, apakah mereka itu berasal dari langit (To Manurung) karena tinggalnya di puncak gunung, ataukah timbul dari air (To Mompo) karena hanya memakan ikan mentah. Mereka Pun digelar dengan nama To Sangiang.

Arung Pangi kemudian mengajak kedua orang tersebut untuk ikut turun gunung, namun ditolaknya dengan halus. Setelah itu Arung Pangi kembali ke kampung halamanya. Kedua orang suami isteri tersebut kemudian melahirkan seorang anak perempuan.

Sewaktu Arung Pangi hendak naik ke gunung lagi, diberitahukannya kepada seluruh kerabat dan kerajaan lainnya, bahwa ada dua orang (suami isteri) yang tinggal di atas pegunungan, yang tidak diketahui persis asal-usulnya.

Mendengar cerita tersebut, semuanya ingin ikut naik ke gunung tersebut. Dalam rombongan tersebut ikut pula kerabat Arung Pangi yaitu Arung Alekale. Arung Alekale bersama Arung Pangi kemudian menemui To Sangiang tersebut. To Sangiang inipun kembali diajak ikut turun gunung namun lagi-lagi ditolak dengan halus.

Mereka lalu berpamitan satu sama lain sebelum kembali ke kampung halaman masing-masing. Baik Arung Pangi maupun Arung Alekale sudah menjadi kebiasaan naik turun gunung untuk membujuk To Sangiang agar mereka sudi turun gunung.

Selang beberapa lama To Sangiang memiliki empat orang anak, seorang perempuan dan tiga orang laki-laki, timbullah keinginan dalam hatinya untuk pindah mencari tempat yang baru. Belum lama berselang, Arung Pangi datang kembali untuk menjemputnya hingga keduanya bersedia untuk turun gunung. Anak perempuan To Sangiang kemudian dikawinkan dengan putra Arung Alekale.

Suatu ketika anak laki-laki To Sangiang yang sulung berselisih paham dengan adik laki-lakinya yang bungsu tentang cara membajak sawah, diriwayatkan perselisihan tersebut terjadi karena perbedaan cara penggunaan alat bajak sawah, satu anak menginginkan penggunaan rakkala (alat bajak yang sering dijumpai) sebagai alat bajak, sementara anak yang satunya menginginkan penggunaan salaga (alat bajak sawah yang berbentuk menyerupai garpu). 

Bahkan perselisihannya menuju pada saling ingin membunuh.

Ketika To Sangiang sudah merasa putus asa atas tingkah laku anaknya yang berselisih itu, akhirnya ia memutuskan untuk meminta Karaeng Sigeri untuk menyelesaikan permasalahan yang di hadapinya. Karaeng Sigeri dengan senang hati menerima permintaan itu. Ia pun berangkat ke Agangnionjo dan menyelesaikan persoalan anak To Tosangiang.

Atas jasanyapun To Sangiang meminta kesediaan Karaeng Sigeri untuk menjadi raja. Karaeng Sigeri menerima tawaran itu dan iapun dilantik menjadi raja pertama Agangnionjo dengan gelar Datu Gollae.

(Sumber: attoriolong :Erik Hariansah) Teddungpulaweng

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close