Bimata

STN: Jangan Impor Beras Saat Musim Panen

BIMATA.ID, Jakarta- Rencana pemerintah untuk mengimpor beras mendapat banyak kritikan dari berbagai pihak. Keputusan tersebut dinilai tidak strategis dan merugikan petani. Ketua Umum Serikat Tani Nelayan (STN), Ahmad Rifai, mengatakan bahwa impor beras tidak patut dilakukan di tengah musim panen raya petani.

“Bayangkan saja jumlahnya tidak tanggung tanggung, mencapai satu juta ton,” kata Rifai.

Rencana impor di tengah panen raya, Rifai melanjutkan, adalah penanda bahwa pemerintah abai terhadap para petani. Bahkan, menurut dia, hal ini terjadi berulang ulang. Pengambilan keputusan yang keliru semacam ini merupakan kesengajaan demi meraup keuntungan pihak tertentu. Impor beras yang sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, kata dia, kerap kali diwarnai korupsi, kolusi, dan menekan harga gabah petani lokal.

Pada tahun 2000, misalnya, terdapat kasus Bulog Gate Satu. Penggelapan duit nonbujeter Bulog sebesar Rp35 miliar yang dilakukan oleh seseorang bernama Soewondo dan Wakil Kepala Bulog, Sapuan. Keduanya hanya divonis dua tahun penjara.

Menyusul Bulog Gate Dua pada tahun 2002 yang melibatkan mantan Menteri Riset dan Teknologi era Soeharto, Rahardi Ramelan. Rahardi terbukti menguras dana Rp62,5 miliar dan hanya divonis hukuman dua tahun penjara pada Oktober 2004.

Setelahnya terjadi kejadian serupa: 2005, melibatkan Kepala Perum Bulog Wijanarko Puspoyo, dan adiknya, Widjojongko Puspoyo. 2011, dugaan penyalahgunaan wewenang impor beras dari Vietnam oleh Kepala Dewan Pengawas Perum Bulog Jusuf Gunawan Wangkar yang bekerjasama dengan Staf Khusus Presiden SBY, melakukan mark up harga yang berdampak merugikan negara sebesar tiga triliun rupiah.

Terakhir, 2016, kasus beras impor yang dijadikan beras untuk rakyat miskin (raskin), menyeret Kepala Seksi Pelayanan Publik Bulog Sub Divre XII Madura, Hardiayanto, dan Suharso dari PT PAN Asia, kedua tersangka dijerat pasal 2, 3, dan 9 UU Nomor 31 Tahun 2009 tentang tindak pidana korupsi.

“Jadi cukup jelas, bahwa impor beras merupakan momentum yang diciptakan oleh pejabat parasit untuk mengkorupsi uang negara,” kata Rifai.

Keputusan itu, lagi-lagi, tidak menghiraukan akibat yang bakal diderita petani, yaitu anjloknya harga gabah di musim panen.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pemerintah Indonesia telah melakukan impor berasa selama 15 tahun, tepatnya sejak tahun 2000 hingga 2015. Meski sempat terhenti di tahun 2016 dan 2017, tetapi kembali dilakukan di tahun 2018. Jika ditotal, kata Rifai, Indonesia telah mengimpor sebanyak 15,39 juta ton.

Menurut Rifai, jika impor terus menerus dilakukan, Indonesia tidak akan pernah bisa berdaulat atas pangan (produksi) atau meningkatkan jumlah produksi pangan (beras). Presiden Joko Widodo, oleh karenanya, harus menghentikan impor beras dengan mengambil langkah bersama DPR.

Setidaknya ada tiga langkah yang Rifai kemukakan. Pertama, mencabut segala aturan yang berkaitan dengan izin impor pangan dan menerbitkan peraturan perundang-undangan yang menguatkan Badan Usaha Milik Negara/Daerah yang berkaitan dengan pangan, seperti Perum Bulog.

Kedua, melakukan rapat bersama dengan melibatkan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Perum Bulog dan organisasi massa (ormas) tani guna mendengarkan aspirasi petani hingga menghasilkan keputusan bersama. Posisi Bulog harus ditarik ke posisi fungsi sosial sebagai penyerap hasil produksi tani, nelayan dan lain-lain, menampung dan menyimpan serta mendistribusikannya pada momentum tertentu.

Ketiga, menguatkan petani dengan melakukan verifikasi atas kelompok tani, kelompok pemuda tani, kelompok wanita tani, kelompok buruh tani, hingga gabungan kelompok tani yang tidak aktif. Kemudian memperbanyak serta membebaskannya untuk berafiliasi ke ormas tani. Selain itu pemerintah juga perlu memasifkan pendidikan dan pelatihan bagi petani lewat organisasi tani.

Lantas, pemerintah harus memastikan petani mendapatkan aset tanah dengan menjalankan reforma agraria dan akses atas modal, teknologi, juga memastikan terjaganya harga hasil pertanian serta memajukan koperasi sebagai wadah petani untuk membangun kemandirian ekonomi sebagai cikal bakal industri nasional menuju kedaulatan atas pangan.

 

(Bagus)

Exit mobile version