Bimata

Komisi X DPR Diminta Desak Pemerintah Selesaikan Masalah kekurangan Guru di Papua

BIMATA.ID, Jakarta- Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah Provinsi Papua, Christian Sohilait, meminta Komisi X DPR untuk mendesak pemerintah menyelesaikan masalah kekurangan guru di Papua. Masalah ini menjadi salah satu yang terbesar yang terus terjadi.

“Kami sekarang sangat bermohon-mohon untuk ini kita selesaikan masalah guru ini,” ungkap Christian Sohilait dalam Rapat Panja Pengangkatan Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer Menjadi Aparatur Sipil Negara (PGTKH-ASN) Komisi X DPR.

Dia menjelaskan skema pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diupah pemerintah pusat bisa menjadi salah satu solusi. Asalkan jumlah formasi yang diusulkan pemerintah daerah tidak ditawar-tawar pemerintah pusat.

Pemerintah Provinsi Papua sendiri telah mengusulkan 1.400 formasi untuk perekrutan guru dengan skema PPPK pada tahun ini. Mereka juga meminta pemerintah melakukan perekrutan untuk guru honorer murni sebanyak 3.527 orang.

“Pendidikan di Papua ada 60 indikator yang kami tertinggal dengan daerah Jawa. Dari 60 indikator, satu indikator adalah guru. Ini guru (yang diusulkan) kan tidak banyak sekitar 4.000, ini sangat kecil sekali,” ucap Sohilait.

Menurut dia, pemerintah pusat seharusnya tidak akan menawar usulan itu mengingat ada Inpres Nomor 9 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat. Inpres ini dianggap punya kekuatan untuk penyelesaian masalah kekurangan guru.

“Inpres ini hanya berlaku 4 tahun. Karena itu dalam beberapa diskusi kami dengan eksekutif di pusat bahwa kalau waktu Inpres 9 hanya berlaku 4 tahun maka ketika Papua mengusulkan sesuatu untuk percepatan pembangunan seharusnya jangan ditawar,” ujarnya.

Mengurangi permintaan jumlah guru yang sudah diusulkan, lanjut Sohilait, tidak akan menyelesaikan masalah ini maupun masalah lain sektor pendidikan di Papua. Masalah lain terkait guru misalnya soal kesejahteraan, lalu akses menuju sekolah, dan keamanan guru.

Kemudian masalah sarana-prasarana sekolah pun turut menambah pekerjaan rumah guru-guru di Papua. Dia mencontohkan banyak guru yang setiap hari secara sukarela menemui eksekutif dan legislatif untuk menyampaikan proposal kebutuhan sarana-prasarana.

“Ada guru yang membawa map, lalu dia pergi lobi. Kalau satu sekolah ada lima guru, nanti satu guru pergi lobi ke gubernur, satu pergi lobi ke kepala dinas pendidikan, satu lagi lobi ke DPR, satu lagi lobi kepada siapa, yang hanya minta WC, atau ruang kelas, atau buku,” imbuhnya.

Selain itu, masalah pendidikan di Papua juga terkait keamanan atas konflik yang terjadi antara TNI-Polri dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Konflik ini mengakibatkan banyak siswa tidak bisa bersekolah karena tidak ada jaminan keamanan.

“Di Kabupaten Nduga, hari ini sekitar 4 ribu anak sudah dua tahun delapan bulan tidak sekolah. Di Intan Jaya juga. Ini masalahnya sedang kita selesaikan. Artinya ini faktor lingkungan memang yang harus kita selesaikan,” urai Sohilait.

Belum lagi masalah akibat pandemi covid-19 yang mengharuskan kegiatan belajar-mengajar digelar secara jarak jauh. Saat ini, hanya ada 36% sekolah yang bisa melakukan PJJ secara daring, sedangkan sisanya tetap harus luring karena tidak ada jaringan internet.

Sohilait mengapresiasi kebijakan Kemendikbud untuk memberikan bantuan kuota internet bagi guru dan siswa. Tetapi dengan kondisi tersebut, bantuan kuota internet ini dinilai tidak menyelesaikan masalah mayoritas sekolah di Papua.

“Karena itu kita dorong supaya pusat juga menyiapkan dana untuk mencetak buku-buku secara langsung, juga dana-dana cash yang guru-guru bisa pergi dan menyelesaikan kegiatan-kegiatan langsung ke (rumah) siswa,” ungkap Sohilait.

 

(Bagus)

Exit mobile version