Bimata

Impor Beras dan Garam Merugikan Petani Secara Nasional

BIMATA.ID, Jakarta-  Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI) sangat menyayangkan isu rencana impor beras dan garam karena hal ini adalah pemiskinan dan ketidakberpihakan kepada petani dan sebaiknya hal tersebut dihentikan.

“Rencana impor beras sebanyak sekitar 1 juta ton pada kwartal 1 tahun 2021 tidak sesuai dengan ketersediaan beras dari pada semester 1 tahun 2021 sebesar 24,9 juta ton dengan kebutuhan 12,3 juta ton, mengingat pada bulan Maret-April ini petani akan panen raya itu akan melukai dan merugikan petani secara nasional,” terang Sekjen DPN ISRI, Cahyo Gani Saputro.

Terkait produksi garam dalam negeri untuk garam industri dari tahun ke tahun mengalami problematika yang sama. Harus ada terobosan dalam bidang teknologi untuk mengatasi garam industri.

Sehingga garam-garam produksi nasional masuk kualifikasi. Sungguh ironis, kita sebagai negara kepulauan dan memiliki garis pantai yang panjang, namun terus impor garam yang mana tahun 2021 tercatat kuota impor garam sebanyak 3 juta ton lebih tinggi dibanding 2020 sebanyak 2,9 juta ton.

“Dengan produksi garam dalam negeri sekitar 2,1 juta ton pada 2021 dan kebutuhan garam nasional tahun ini sebanyak 4,6 juta ton. Untuk garam rumah tangga, kami kira tidak ada persoalan, tinggal bagaimana peningkatan produksi, baik melalui petani petambak garam, dan industri garam nasional,” ujarnya.

Menurutnya, hal ini perlu menjadi perhatian dan keseriusan adalah produksi untuk garam industri, bagaimana pemerintah membuat terobosan dan legacy, agar garam produksi nasional ini masuk kualifikasi untuk garam industri sehingga persoalan impor garam bisa segera dihentikan.

Cahyo mengatakan, problematika pertanian nasional nilai ekonomi menanam padi di pulau Jawa memang sudah mengalami penurunan akibat sempitnya kepemilikan lahan dan waris-mewaris serta alih fungsi lahan pertanian dan keseriusan dinas-dinas pertanian dalam memverifikasi klasifikasi LP2B dan penerapannya pada penataan ruang.

“Potensi pertanian di luar Jawa harus ditingkatkan dengan pencetakan sawah-sawah baru yang jelas datanya, dan keseriusan pemerintah dalam menjalankan landreform,” tegasnya.

Sehingga, CPCL pada lahan-lahan yang masih luas, paling tidak satu rumah tangga tani menggarap minimal 1-2 hektar agar masih memiliki nilai ekonomi dalam produksi padi.

“Namun sebagai catatan, pada wilayah-wilayah hulu atau pegunungan, baik kawasan hutan dan luar kawasan hutan, yaitu pada kawasan hutan pentingnya reboisasi pada lahan-lahan gundul yang tegakkan mulai berkurang serta diluar kawasan perlunya penghijauan dengan jenis tanaman-tanaman yang kuat akarnya,” ungkapnya.

Program-program perhutanan sosial, kata Cahyo, harus memberikan edukasi pada rakyat, agar tidak menimbulkan persoalan lingkungan baru pada wilayah tengah ataupun hilir.

“Pentingnya program secara holistik dilakukan, khususnya penguatan pada penataan ruang, untuk itulah Undang-Undang Cipta Kerja dan peraturan pelaksaannya ini diuji secara praksis dalam pembangunan sekaligus ekologis,” tutup Cahyo yang juga seorang Praktisi Hukum ini.

 

(Bagus)

Exit mobile version