Penulis Moh. Nurmawan Pakaya Pemerhati Politik
BIMATA.ID, OPINI — Jika ada partai di republik ini yang berani memecat tanpa ampun kader seniornya, itu adalah Demokrat. Jika ada partai yang menenggelamkan peran oposisi kader di internalnya, itu juga Demokrat.
Partai ini benar-benar berani dan tegas mengambil sikap untuk tetap melindungi sistem “demokrasi yang malu-malu tapi terbuka” di lingkungan internalnya.
Kurang lebih 10 tahun pasca kongres di Bandung, hingga saat ini Demokrat telah menjalani proses politik yang alot. Faksi-faksi tercipta tatkala kongres Bandung melahirkan tiga calon kandidat ketua umum pada saat itu; Andi Mallarangeng, Marzuki Alie, dan Anas Urbaningrum.
Keputusan kongres saat itu berhasil mengangkat Anas pada jabatan sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode tahun 2010-2015. Namun hanya berselang satu tahun, Anas digulingkan. Ia dijerat kasus korupsi pembangunan wisma atlet dengan beberapa rekan separtainya;
Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Demokrat gagal merajut cita-cita mendapatkan pemimpin yang baru penuh gairah politik.
Upaya penyelamatan masa depan Demokrat yang kehilangan patronnya pada saat itu juga tak main-main. Bali menjadi tempat peristiwa bersejarah Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat pada tahun 2013 silam. Berbagai penolakan dari organisasi sayap partai Demokrat pun menghiasi proses pelaksanaan KLB. Namun, tak surut niat para petinggi partai untuk tetap melaksanakan KLB. Yang kemudian memutuskan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat periode 2013 – 2015, pun saat itu SBY sendiri sedang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia.
Pada periode ini, bukan tidak mungkin Demokrat akan mengalami nasib yang sama seperti yang telah terjadi pada periode 2010 silam, meski dalam hal ini berbeda konteksnya. Isu kudeta terhadap Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono itu bisa saja terjadi. Sebab bagaimanapun politik selalu berjalan dinamis.
Jika pada tahun 2013 para kader dan segenap pengurus Partai Demokrat melakukan upaya penyelamatan terhadap Partai. Di tahun ini justru terbalik, Partai Lah yang melakukan penyelamatan terhadap kader dan pengurusnya. Buntut panjang dari kegamangan AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat yang diisukan akan dikudeta, berakhir dengan pemecatan para “kader oposisi” di internal Partai Biru itu. Salah satunya, yaitu Marzuki Alie yang turut serta menjadi korban kegamangan AHY. Marzuki dipecat!
Sebagai orang tua SBY tentu tidak akan membiarkan anaknya diliputi kegamangan yang berkepanjangan. Lebih-lebih AHY telah lama ia persiapkan menjadi pengganti dirinya untuk menahkodai Partai Demokrat. Setting panjang yang dilakukan SBY untuk mendongkrak popularitas AHY agar dikenal oleh seluruh kader Partai Demokrat di Indonesia juga bukan settingan kaleng-kaleng.
AHY harus rela meninggalkan kesatuan militernya. Ia juga turut menjadi kandidat calon Gubernur di Pilkada DKI Jakarta pada tahun 2017. Kendatipun harus kalah, tapi setidaknya tingkat popularitas AHY sebagai calon pemimpin masa depan Partai Demokrat melesat tinggi di kalangan Demokraisme.
Lalu apa hubungannya dinamika Partai Demokrat yang sedang berlangsung hari ini dengan tahun 2010 silam? Mengapa harus ada KLB Bali yang memutuskan SBY sebagai Ketua Umum pengganti Anas Urbaningrum?
Lagi-lagi peran SBY – lah yang mengatur skema dan gaya berpolitik Partai Demokrat. Namun kali ini, langkah SBY dan Partai Demokrat yang mengambil sikap memecat kader sekelas Marzukie Alie adalah sebuah langkah politik yang keliru. Sebab bagaimanapun Marzuki Alie adalah kunci!
“Saya bangga dipecat oleh orang-orang yang nggak beres, para perampok partai, para tukang palak, nggak malu saya dipecat” -Marzuki Alie- (Sumber Detik)
Sekian.