Bimata

Ma’ruf Amin: Pemberian Subsidi LPG Tidak Tepat Sasaran

BIMATA.ID, Jakarta– Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengakui pemberian subsidi LPG tidak tepat sasaran karena hanya dinikmati masyarakat miskin sekitar 35 persen dari total penyaluran. Sementara sisanya, sebesar 65 persen justru masuk ke kantong masyarakat yang mampu.

“Ketimpangan terjadi untuk subsidi LPG, yang hanya dinikmati oleh 35 persen kelompok masyarakat miskin dan rentan, sisanya dinikmati kelompok masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi,” ungkap Ma’ruf, Senin (1/2).

Mirisnya, subsidi LPG tidak tepat sasaran ini sudah jadi masalah menahun dan terlanjur membengkakkan keuangan negara. Tahun ini saja misalnya, pemerintah menganggarkan dana Rp54 triliun untuk subsidi LPG dalam menyediakan sekitar 7,5 juta metrik ton gas bagi masyarakat.

“Ironis, alokasi subsidi LPG jumlahnya sangat besar dan cenderung meningkat, tapi masih terdapat lebih dari 12,51 juta rumah tangga miskin dan rentan di Indonesia yang memasak menggunakan kayu bakar,” ucapnya.

Ma’ruf menilai ‘penyakit menahun’ ini harus disudahi. Ia ingin kebijakan energi lebih berpihak ke masyarakat miskin demi menjaga ketahanan mereka.

Ekonom Indef Eko Listiyanto mengatakan persoalan salah sasaran subsidi LPG memang menahun, tapi tetap kompleks. Namun, menurutnya, masyarakat mampu tak serta merta sengaja memakan LPG bersubsidi seperti halnya mereka membeli BBM Premium yang juga merupakan bahan bakar subsidi. Ia menilai masyarakat yang membeli Premium mungkin memang mengincar harga bahan bakar yang lebih murah. Tapi untuk LPG, sebenarnya, lebih karena kemasan yang praktis dan stok yang melimpah.

“Fenomena riil yang ada di rumah tangga, memang ibu-ibu itu mungkin susah angkat gas yang 12 kg atau 5,5 kg, lebih mudah ya yang gas melon 3 kg itu. Tapi mungkin biar tidak cepat habis gasnya dan bolak-balik ke warung, mereka beli gasnya dua, satu 12 kg, satu 3 kg, ini demi kemudahan saja,” ujarnya.

Persoalan lain, memang banyak rumah tangga milenial yang tak selalu memasak sendiri makanannya. Beberapa di antaranya lebih suka membeli makan di luar atau bahkan memanfaatkan aplikasi pesan antar (delivery), seperti Go-food, Grab food, dan lainnya.

“Jadi stok gasnya pun yang ukuran kecil, ya si 3 kg itu. Sebenarnya, banyak alasan lebih karena kemudahan, kebetulan yang LPG 3 kg itu lebih mudah, ukurannya kecil,” imbuhnya.

Persoalan yang tak kalah penting adalah soal akses. LPG ukuran 12 kg dan 5,5 kg tentu membuat pemakainya tidak perlu sering-sering ganti gas ketika habis.Hal ini membuat pergerakan barang di warung pedagang jadi tidak cepat.

Selain itu, masih belum banyak yang pakai LPG 12 kg dan 5,5 kg, sehingga menambah lama pergerakannya dalam rantai penjualan.

Sementara, jual beli LPG 3 kg lebih cepat, belum lagi stok selalu ada, sehingga mungkin lebih disukai oleh pedagang.

“Ada beberapa kasus, LPG 12 kg dan 5,5 kg itu memang susah distribusinya ke warung, toko, dan lainnya. Sedangkan, yang gas 3 kg ini cepat akses dan distribusinya, stok selalu ada, pedagang juga tidak perlu stok lama, langsung terjual,” tuturnya.

Alasan lain di tengah situasi pandemi virus corona atau covid-19, menurutnya, ada kecenderungan masyarakat lebih mementingkan ukuran kecil yang sesuai dengan daya belinya saat ini. Maklum, pandemi juga mempengaruhi kantong para kelas menengah yang juga disinyalir banyak menikmati LPG 3 kg.

Eko melihat masalah subsidi LPG yang tidak tepat sasaran sebenarnya tidak serta merta hanya karena masyarakat mampu ingin melahap jatah masyarakat miskin, tapi lebih soal kemudahan. Ia menegaskan hal ini harus diakhiri. Caranya? Pertama, memberikan sosialisasi lebih luas lagi soal alokasi dan pemanfaatan subsidi LPG. Suka tidak suka, langkah ini tetap harus ditempuh. Sosialisasi pun bisa lebih dikedepankan terhadap manfaat pembelian LPG 12 kg dan 5,5 kg, sehingga masyarakat mampu mau beralih.

Kedua, jaminan distribusi dan stok gas 12 kg dan 5,5 kg, sehingga tidak ada kelangkaan di masyarakat.

Ketiga, mengubah mekanisme penyaluran. Misalnya, menggunakan skema voucer pembelian gas bagi masyarakat miskin yang hak menerimanya sudah disesuaikan dengan data kemiskinan pemerintah, sehingga bisa lebih tepat sasaran.

Pada skema ini, LPG 3 kg tetap dijual bebas ke semua kalangan dengan harga normal tanpa subsidi. Tapi, masyarakat yang punya voucer bisa membeli gas dengan harga lebih murah atau dengan potongan. Selisih dari ‘diskon’ bagi masyarakat miskin yang tertera di voucer itu bisa diklaim pedagang warung, toko, hingga retailer ke pemerintah untuk merogoh anggaran subsidi.

Tapi, Eko mewanti-wanti, skema seperti ini perlu dibekali dengan pengawasan ketat di lapangan agar tidak ada masalah pemalsuan voucer, perilaku pedagang yang membatasi stok, dan risiko-risiko lain.

Mekanisme lain, bisa saja subsidi LPG diberikan dalam paket bansos ke masyarakat. Dengan demikian, sudah satu paket untuk disasar ke keluarga yang tidak mampu. Yang penting, katanya, subsidi LPG tetap ada bagi si miskin. Kenapa?

“Subsidi LPG tetap harus ada, karena ini berpengaruh ke daya beli masyarakat,” katanya.

Di lain tempat, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menilai subsidi LPG sebenarnya masih perlu untuk menunjang kehidupan masyaraka kurang mampu. Apalagi, di tengah lemahnya daya beli saat ini.

 

(Bagus)

Exit mobile version