BIMATA.ID, Opini — Dunia terperangah, secara mendadak pihak militer Vietnam menangkap presiden dan sekaligus penerima nobel kemanusiaan Aung Su Kyi. Media menyebutkan maraknya kecurangan yang terjadi dalam pemilu di negara itu menjadi penyebab penangkapannya.
Boleh jadi, hal itu benar. Namun mungkin pula bukan hanya faktor itu yang jadi penyebabnya. Atau mungkin ini semua ada kaitannya dengan ucapan Presiden USA yang baru dilantik yang menyatakan akan turut concern pada penanganan masalah muslim Rohingya.
Joe Biden yang dulunya merupakan wakil dari Presiden Obama dan diusung partai Demokrat sukses menumbangkan Trump dari partai Republik. Sudah bukan rahasia lagi, jika di negara itu Demokrat memang kelihatan ‘lebih keras’ atau katakanlah lebih mengandalkan aktivitas militer dalam menjalankan komunikasi bilateralnya.
Boleh jadi kejadian tersebut ada hubungannya dengan bahasa pasangan wapres Kamala Harris tersebut. Kejadian Vietnam menjadi sebuah cerminan, betapa kebijakan politik luar negeri haruslah dijalankan secara proaktif dan sebisa mungkin netral.
Kecenderungan sebuah negara yang berpihak pada salah satu kubu, akan menimbulkan resiko yang mungkin saja akan terjadi secara mendadak ala Vietnam.
Indonesia sebagai negara yang dalam periode saat ini, lebih banyak melakukan ‘komunikasi pembangunan’ dengan pihak China, sepertinya juga harus bersiap.
– USA mulai gencar terhadap China, Indonesia bagaimana?
Presiden Biden baru-baru ini membantah penguasaan China di wilayah laut China Selatan. Melalui komunikasi dengan pihak sekutunya, Filipina, USA menegaskan hal tersebut. Penekanan Terhadap kedaulatan tersebut tentu memberikan efek bagi negara-negara di sekitar perairan itu, yah termasuk Indonesia.
Tapi bagaimana posisi Indonesia, sudah tentu bahwa Indonesia telah membaca hal itu. Nah, kali ini applaus buat para intelijen hebat kita nih.
Bingung yah?, nih saya uraikan ya…
Kita flashback lagi di awal Periode Pak De’ nih. Kala itu kondisi politik dalam negeri tidak balance antara eksekutif dan legislatif,karena koalisi gak gemuk di parlemen. Jadi, pembangunan terhambat, dan terpaksa pemerintah saat itu melakukan pembangunan dengan skema investasi dan pinjaman utang dari negeri Tirai Bambu. Indeks pertumbuhan ekonomi kala itu anjlok ditambah lagi dengan kebijakan ekonomi pihak Amerika yang melakukan perang dagang.
Kondisi ekonomi USA sendiri saat perang dagang berlangsung juga turut terimbas. Proses produksi industri di negara besar itu terhambat akibat pasokan bahan baku menjadi berkurang. Kondisi itu membuat kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Trump jadi menurun. Ditambah lagi dengan kehadiran covid-19 yang juga keliru ditangani oleh Trump pada akhirnya membuat elektabilitasnya yang hendak kembali bertarung pada periode kedua Pemilu Presiden AS jatuh.
Pemerintah Indonesia sendiri sepertinya membaca hal itu. Pilpres tahun 2019 kemarin hanya menyuguhkan 2 pasang kandidat. Bahkan pasca terpilih kembali Pasangan Jokowi dan KH. Ma’ruf Amin yang mengusung tagline Indonesia Maju, bahkan sukses menggemukkan koalisinya dengan mengajak rivalnya yakni Prabowo masuk kabinet melalui pertemuan dan santap yang difasilitasi Kepala Badan Intelijen RI. Boleh jadi, dalam pertemuan tersebut, sambil menikmati makanan, yang jadi topik pembicaraan adalah informasi seperti bahasan saya tadi.
Koalisi gemuk, dan pihak oposisi semakin minim jumlahnya. Hal itu tentu seharusnya menguntungkan pemerintah. Beberapa kebijakan kemudian dikebut pengesahannya. Sebut saja PP No. 3 tahun 2021 (yang sebelumnya sudah saya bahas juga) mengatur tentang pengelolaan Sumber daya nasional untuk pertahanan negara yang dalam salah satu pasalnya mengatur partisipasi publik untuk direkrut dan dilatih sebagai bagian pertahanan negara.
Namun disisi lain, partai oposisi yang diperkirakan mengecil malah menjadi besar akibat beberapa blunder ‘korupsi yang membelit pemerintah’. Tak juga hanya karena itu, munculnya suara-suara dari kelompok organisasi agama yang dimotori Habib Rizieq Syihab juga memberi dampak bagi koalisi pemerintah. Ulama yang selama beberapa tahun sebelumnya tinggal di Saudi Arabiah itu dipulangkan. Dan kemudian ditahan oleh Pemerintah Indonesia akibat pelanggaran kerumunan dan beragam dakwaan lain. Yang tak disangka, dalam upaya penangkapannya, terjadi insiden yang berakibat meninggalnya 6 jamaah yang mengawal HRS di KM. 50 tol Cikampek.
Kontroversi kejadian itu kemudian diusut Komnas dan hasilnya dinyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat. Dalam. Perspektif korban, keputusan Komnas itu mengecewakan. Namun, boleh jadi Komnas HAM memutuskan hal tersebut setelah melalui pertimbangan panjang. Termasuk potensi memunculkan gerakan atas nama Hak Asasi Manusia yang bersumber dari luar.
Walau demikian, protes dari pihak korban terus berlanjut dan mungkin akan terus bergulir hingga ke peradilan internasional.
Aspek Hukum terus berlanjut dan imbasnya berpengaruh dalam dunia politik. Partai utama koalisi pemerintah mengalami penurunan elektabilitas. Dan akibat dari kejadian-kejadian tersebut, membuat partai oposisi yang sebelumnya kelihatan kecil, malah memperoleh dukungan publik yang berempati.
Tak diduga, harapan pemerintah untuk meminimalkan oposisi sepertinya kelihatan sedikit terhambat lagi. Jika ini tidak segera teratasi, boleh jadi oposisi akan semakin kuat dan malah menjadi jembatan bagi hal yang tidak didambakan koalisi pemerintah saat ini.
Koalisi sudah pasti akan terus berusaha membentuk kekuatan solid, alias tanpa oposisi. Sebab kehadiran oposisi tak hanya akan membuat koalisi mengalami migrasi elektabilitas dari gerbong mereka ke oposisi, namun juga membuat simpati dunia berpindah dari koalisi ke oposisi.
Indonesia telah bersiap, kebijakan dan program-program keamanan telah dibuat. Di media, wacana covid-19 pun kelihatan telah surut (walau angkanya masih sangat tinggi) dan berganti dengan wacana ekonomi dan kebencanaan.
Boleh jadi media saat ini, sedang melatih masyarakat untuk bersiap dengan kemungkinan-kemungkinan terburuk. Yaah, publik perlu kembali sadar, bahwa nasionalisme sedang perlu digali kembali. Dan tak hanya itu, pemerintah juga perlu mengukur secara detail dan berkala menyangkut persepsi publik, menyangkut aspek dukungan masyarakat akan kebijakan pemerintah. Dan pemerintah perlu strategi agar peristiwa ini menjadi batu loncatan besar untuk kembali jadi macan bagi negara lainnya.
Kinerja Intelijen perlu diapresiasi. Namun, kerja tersebut tak boleh tanpa reaksi selanjutnya. Payung hukum telah sebagian dibuat. Sekedar menunggu juga rasanya tak baik. Toh, bukan hanya kita yang punya mata-mata.
Pemerintah benar-benar harus mengkaji segala potensi dari hulu ke hilir dan dari aspek sosio ekonominya. Politik bebas aktif serta non blok mungkin akan membuat kita sedikit terselamatkan. Dan boleh jadi akan menjadi negara yang digdaya ketika punya strateginya.
Salam sehat semuanya…
(*****)