BIMATA.ID, Jakarta- Utang pemerintah hingga saat ini masih sering menjadi polemik. Kantor Staf Presiden (KSP) pun kemarin kembali menggelar webinar ‘KSP Mendengar’ khusus untuk menjawab tudingan miring tentang utang pemerintah.
Stafsus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo yang menjadi pembicara membuka data terkait utang pemerintah saat ini. Dia mengakui penarikan utang di 2020 memang meningkat.
Namun kenaikan pembiayaan utang tahun lalu karena pandemi COVID-19 yang memaksa pemerintah melakukan pembiayaan lebih besar untuk mendanai pemulihan ekonomi dan kesehatan. Terlihat dari defisit anggaran yang mencapai 6,09% dari PDB atau Rp 956 triliun.
“Penarikan utang memang lebih besar di 2020 karena pandemi. Tapi secara tahunan dari 2015 sebenarnya relatif stabil kecuali karena COVID-19 tahun lalu,” tuturnya.
Selama 2020 pemerintah sendiri menarik utang sebesar Rp 1.226,9 triliun. Terdiri dari surat berharga negara (SBN) Rp 1.117,2 triliun dan pinjaman sebesar Rp 49,7 triliun.
Memang jika dilihat dari 3 tahun sebelumnya pembiayaan utang relatif stabil. Pada 2017 sebesar Rp 422 triliun, 2018 sebesar Rp 372 triliun dan 2019 sebesar Rp 437 triliun. Yustinus juga menunjukkan data pendukung lainnya, seperti defisit fiskal Indonesia yang melebar ke posisi 6,1% terhadap PDB di 2020. Menurutnya pelebaran defisit itu masih lebih baik dari banyak negara lainnya.
“Dari sisi defisit fiskal meski sudah dialokasikan sangat besar kita 6,1% tapi dibanding negara lain kita cukup moderat. Negara lain bahkan sampai double digit ada yang sampai 20%,” terangnya.
Yustinus juga menjabarkan data proyeksi IMF atas utang publik Indonesia yang mencapai 38,5% terhadap PDB. Menurutnya juga itu relatif rendah dan bahkan paling rendah dibandingkan se-ASEAN.
“Di ASEAN penambahan utang kita paling kecil. Ini sekaligus mengklarifikasi banyak tuduhan seolah-olah kita ini tukang utang dan utang kita sudah tidak aman. Kita bandingkan ternyata kita relatif lebih baik,” tambahnya.
Perkembangan utang pemerintah terhadap PDB menurut Kemenkeu dalam 10 tahun masih berada di bawah 30% dari PDB. Hanya di 2029 yang mencapai 38,7% dari PDB atau mencapai Rp 6.074,56 triliun.
Yustinus menegaskan bahwa besarnya angka utang itu relatif masih aman. Sebab dalam rasio pajak terhadap utang atau tax to debt ratio masih 38,32%. Rasio itu menurutnya menunjukkan Indonesia masih memiliki kemampuan membayar utang dari pajak.
“Dibanding banyak negara hanya di bawah Turki dan Afrika Selatan. Tapi kita lebih baik dibanding Brazil, Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Artinya kita punya kemampuan lebih besar dalam pembayaran utang. Karena rasio pendapatan pajak kita terhadap utang lebih tinggi dibanding banyak negara,” terangnya.
(Bagus)