OpiniOpini

Jokowi Minta Dikritik, Jaminannya Apa?

Kritiklah saya, kau kutangkap!

Penulis : Moh. Nurmawan Pakaya, Pemerhati Demokrasi

BIMATA.ID, OPINI — Barangkali pernyataan di atas bisa dijadikan sanggahan atas permintaan Presiden Jokowi untuk meminta agar masyarakat mengkritik kebijakan pemerintah republik Indonesia. Namun demikian, patutlah diberikan apresiasi kepada Jokowi. Meski dengan cara terpaksa?. 

Paling tidak di tengah menurunnya indeks demokrasi Indonesia yang menjadi sorotan media, permintaan itulah yang kelak akan membantu sistem demokrasi Indonesia akan membaik di kemudian hari. Sebagai warga negara yang baik bukankah kita harus tetap optimis? Optimis jika mengkritik dengan keras pasti masuk penjara! Hahaha.

Secara pribadi saya kira permintaan orang nomor satu di Indonesia itu bukan tanpa sebab. Melihat belakangan ini ada-ada saja persoalan baru yang memuncul. Alih-alih persoalan ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia di tengah-tengah masa pandemi ini. Ruwettt….

Jika dipikir-pikir untuk apa pula Jokowi meminta masyarakat Indonesia untuk mengkritik pemerintah jauh lebih “keras” atau lebih “sering” daripada biasanya? Bukankah kritik sudah ada sejak negara ini dibentuk? Saya malah justru khawatir, permintaan Jokowi itu sekadar menjebak lawan-lawan politiknya. Bisa jadi.

Alasannya sederhana, memberikan ruang kritikan di era Jokowi justru malah membuka peluang para kritikus untuk masuk penjara. Terlebih jika yang mengkritik adalah lawan-lawan politik Jokowi. Lah terus? Ya gak terus-terus. Kenyataannya UU ITE kerap membayang-bayangi para pengkritik.

Masih ingatkah kejadian yang menimpa Faisol Abod Batis, di 2019 silam? Sosok yang mengkritik Jokowi berbasis data soal konflik agraria itu? Ia menjadi tersangka kasus pelanggaran UU ITE. 

  1. Kebohongan Demi Kebohongan Dipertonton kan oleh Seorang Pemimpin Negara. Bagaimana Rakyat akan Percaya terhadap Pemimpin seperti ini.
  2. Konflik agraria rezim Jokowi: 41 orang tewas, 51 orang tertembak, 546 dianiaya, dan 940 petani; pejuang lingkungan dikriminalisasi. Terjadi 1.769 kasus konflik agraria sepanjang pemerintahan tahun 2015 – 2018. Kasus tersebut meliputi konflik perkebunan, properti, hutan, laut, tambang, dan infrastruktur.
  3. Polisi gagal melindungi hak asasi manusia saat Aksi 21-23 Mei 2019.__

Demikian kritikan keras yang di sampaikan Faisol melalui unggahan di akun instagramnya di tahun 2019 silam.

Jika sedemikian keras seorang Faisol melontarkan kritikannya terhadap rezim Jokowi yang mengharuskan Faisol berakhir dengan identitas sebagai tersangka, lalu apa jaminan Jokowi di atas permintaannya yang ingin dikritik? 

Bonus sepeda? Tawaran sebagai stafsus milenial kepresidenan? Tawaran dirut BUMN? Atau malah justru akan berakhir di dalam penjara? 

Maksud saya adalah Jokowi tidak hanya “meminta” untuk ke masyarakatnya melainkan ia juga harus memberikan apa kepada masyarakat yang dengan sukarela mengkritiknya dengan rutin. Terlepas Jokowi adalah Presiden, masyarakatlah yang punya kuasa di republik ini. 

Jokowi tidak hanya bisa untuk sekadar meminta tanpa memberikan jaminan kepada masyarakat. Paling tidak setelah dikritik, Jokowi mampu menjamin masyarakatnya aman dari sergapan pak polisi. Atau semacam ia memberikan reward khusus. Bukan sepeda atau jabatan khusus. Melainkan kesejahteraan secara menyeluruh. 

Jokowi juga harus bertindak sportif apabila kritikan itu datang dari lawan-lawan politiknya. Sebab Jokowi adalah “pelayan” masyarakat! Jokowi bukan Tuhan yang melulu harus disembah.  Jokowi adalah tempat di mana kekeliruan di republik ini bermuara. 

Pada akhirnya saya tidak sedang menuduh Jokowi, melainkan sedang mengkritik permintaannya untuk dikritik. 

Sekian. (****)

 

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close