BIMATA.ID, Jakarta- Terbitnya Peraturan Pemerintah (Permen) ATR/BPN Nomor 1 tahun 2021 yang mengatur perubahan bentuk sertifikat tanah berbentuk cetak ke sertifikat elektronik dinilai banyak pihak masih terlalu dini dan belum mejadi prioritas, karena masih banyak aspek yang seharusnya diperbaiki terlebih dahulu, dibanding langsung mengubah bentuk sertifiikat tanah dari fisik ke digital.
Ahmad Muzani, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, mendesak dibatalkannya rencana pemberlakuan sertifikat tanah digital, salah satunya adalah karena dasar hukum berupa permen yang dinilai tidak kuat. Muzani juga berpendapat, perubahan bentuk sertifikat tanah dari cetak ke digital akan menimbulkan kerawanan posisi pemilik hak tanah, karena masih banyak fakta ketidaksesuaian data di lapangan dengan data pada buku tanah.
“Apakah pendataan tanah yang dilakukan Kementerian ATR/BPN sudah lengkap, valid dan terintegrasi? Seharusnya negara (melalui Kementerian ATR/BPN) melakukan validasi dan memastikan bahwa data yang ada pada sertifikat adalah sama dengan data pada buku tanah,” ungkap Ahmad Muzani.
Selanjutnya, Dewi Kartika selaku Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, peraturan ini akan merugikan masyarakat dan memperparah konflik agraria, sebab banyak sertifikat badan usaha berada di tanah yang merupakan wilayah konflik. Data KPA, pada tahun 2017 mencatat betapa timpangnya penguasaan tanah di Indonesia, bahkan di pedesaan para petani rata-rata hanya memiliki kurang dari 0,5 ha tanah.
“Proses semacam ini berpotensi memperparah konflik agraria, mengukuhkan ketimpangan dan monopoli tanah oleh badan usaha swasta dan negara,” kata Dewi.
Pakar Hukum Pertanahan Lembaga Advokasi Konsumen Properti Indonesia, Erwin Kallo, menilai ada 2 kelemahan perubahan sertifikat tanah elektronik, khususnya dari sisi hukum dan teknis.
“Dari sisi hukum, secara undang-undang bisa enggak pembuktian melalui elektronik? kan belum. Bagaimana dong kalau ada sengketa tanah terus pakai elektronik? dari sisi teknis, sertifikat tanah elektronik sangat rawan dan mudah diretas oleh para peretas,” ungkap Erwin.
Ahmad Muzani juga menambahkan alasan Gerindra mendesak pemberlakuan sertifikat tanah elektronik dibatalkan. Salah satunya adalah dasar hukum berupa peraturan menteri (permen) dinilai tidak kuat.
(Bagus)