Bimata

Demi Kepentingan Kesehatan, Tarif Cukai Rokok Naik

BIMATA.ID, Jakarta- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menetapkan kebijakan menaikkan tarif cukai hasil tembakau per 1 Februari 2021. Kenaikan itu sebagai bukti visi misi presiden yang bertajuk SDM Maju, Indonesia Unggul.

Visi tersebut diwujudkan melalui komitmen pengendalian konsumsi demi kepentingan kesehatan. Pemerintah juga berupaya melakukan perlindungan terhadap buruh, petani, dan industri, dengan meminimalisir dampak negatif kebijakan, sekaligus melihat peluang dan mendorong ekspor hasil tembakau Indonesia.

Laporan Kantor Wilayah Direktorat Jendral Bea Cukai 2 Jatim pada 26 Januari, terdapat beberapa pokok kebijakan cukai hasil tembakau 2021. Yakni hanya besaran tarif cukai hasil tembakau yang berubah. Sebab pada 2021 merupakan tahun yang berat bagi hampir seluruh industri termasuk industri hasil tembakau.

”Selain itu simplifikasi dengan memperkecil celah tarif antara sigaret kretek mesin (SKM) golongan II A dengan SKM golongan II B, serta sigaret putih mesin (SPM) golongan II A dengan SPM golongan II B. Besaran harga jual eceran di pasaran sesuai dengan kenaikan tarif masing-masing,” ujar Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai II Jatim Oentarto Wibowo melalui keterangan tertulis pada Kamis (04/02/2021).

Pemerintah menetapkan rata-rata dari kenaikan tarif cukai per jenis rokok adalah sebesar 12,5 persen. Kenaikan itu lebih rendah dibandingkan dengan kebijakan tahun sebelumnya sebesar 23 persen. Kenaikan tarif cukai SKM adalah 16,9 persen untuk golongan I, 13 persen untuk golongan II A, serta 15,4 persen untuk golongan II B. Untuk jenis SPM adalah 18,4 persen untuk golongan I, 16,5 persen untuk golongan II A, dan 18,1 persen untuk golongan II B.

”Kebijakan tersebut diambil pemerintah melalui pertimbangan terhadap lima aspek, yaitu kesehatan terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan,” terang Oentarto Wibowo.

Dari kebijakan tersebut, pemerintah juga telah melakukan pengaturan ulang penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Sebesar 50 persen akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya petani/buruh tani tembakau dan buruh rokok.

Dari alokasi itu, menurut Oentarto Wibowo, 35 persen akan diberikan melalui dukungan program pembinaan lingkungan sosial yang terdiri dari bantuan langsung tunai (BLT) kepada buruh tani tembakau dan buruh rokok. Kemudian 5 persen untuk pelatihan profesi kepada buruh tani/buruh pabrik rokok termasuk bantuan modal usaha kepada buruh tani/buruh pabrik rokok yang akan beralih menjadi pengusaha UMKM, serta 10 persen untuk dukungan melalui program peningkatan kualitas bahan baku.

”Alokasi lain, 25 persen untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional dan 25 persen untuk mendukung penegakan hukum dalam bentuk program pembinaan industri, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai, serta program pemberantasan barang kena cukai ilegal,” papar Oentarto Wibowo.

Dia menambahkan, pemerintah akan terus mendorong ekspor hasil tembakau Indonesia karena memiliki daya saing tinggi. Dilansir dari data empat tahun terakhir, tren ekspor SPM cukup meningkat.

”Ekspor SPM pada 2019 mencapai 81,4 miliar batang. Angka ini melonjak dari 70,9 miliar batang pada 2016. Untuk mendukung ekspor hasil tembakau, pemerintah telah memberikan fasilitas berupa penundaan pembayaran pita cukai hasil tembakau untuk penjualan lokal bagi perusahaan yang dominan melakukan ekspor dari normalnya 60 hari menjadi 90 hari, fasilitas kawasan berikat, dan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE),” ujar Oentarto Wibowo.

 

(Bagus)

Exit mobile version