Biodiesel Sumbang 35% ke Bauran EBT RI
BIMATA.ID, Jakarta- Pemerintah menargetkan bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 mendatang. Namun sampai 2020 capaiannya baru separuhnya, yakni 11,5%.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Andriah Feby Misna.
“Peran dari biodiesel kurang lebih 35% dari capaian tersebut (bauran EBT 11,5% di 2020), itu berasal dari biodiesel. Dengan meningkatkan blending (pencampuran), diharapkan peran biodiesel bisa terus meningkat dalam pencapaian EBT,” ungkapnya.
Dia mengatakan, realisasi penyerapan Fatty Acid Methyl Esters (FAME) yang dicampurkan ke dalam solar sebesar 30% atau biodiesel 30% (B30) pada 2020 mencapai sebesar 8,4 juta kilo liter (kl). Pemanfaatan biodiesel selama 2020 ini menurutnya berdampak pada penghematan devisa sebesar US$ 2,64 miliar atau Rp 38,04 triliun.
Selain itu, ini juga meningkatkan nilai tambah dari minyak sawit mentah (CPO) Rp 10,36 triliun.
Dia mengatakan, pihaknya juga akan memperhatikan kualitas biodiesel ketika persentase pencampuran biodiesel ini ditingkatkan, sehingga bahan bakar yang digunakan bisa cocok dengan mesin yang digunakan.
Selain itu, kualitas infrastruktur berupa tangki penyimpanan juga diupayakan terus diperbaiki seiring dengan peningkatan persentase pencampuran biodiesel ini.
“Kita melakukan perbaikan dari spec biofuel-nya itu sendiri. Untuk pencampuran B30, ada beberapa parameter yang kemudian kita perketat,” ujarnya.
Adapun insentif atau subsidi biodiesel pada 2020 lalu mencapai sebesar Rp 28 triliun.
“Hal ini dikarenakan harga dari bahan bakar minyak (BBM) yang rendah di tahun 2020, sehingga selisih Harga Indeks Pasar (HIP) dari biodiesel dan solar cukup tinggi,” jelasnya.
Feby mengatakan biodiesel akan dikembangkan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan. Petani-petani akan dilibatkan, misal saat ini saat ini perusahaan besar yang terlibat ke depan bisa dikembangkan koperasi-koperasi.
“Kita juga upaya perbaikan standar dan proses efisien, terkait dengan insentif karena saat ini untuk mengembangkan EBT, cost-nya jauh lebih mahal dan daya beli belum kuat, maka cost ditekan,” paparnya.
(Bagus)