BIMATA.ID, JAKARTA- Indonesia adalah lumbung energi baru dan terbarukan (EBT). Begitu banyak sumber EBT yang dimiliki negeri ini, dari mulai panas bumi, sinar matahari, angin, bioenergi, arus laut, sawit, buah jarak, hingga aliran dan terjunan air. Tidak seperti energi fosil (migas dan batu bara) yang membutuhkan waktu jutaan tahun untuk dimanfaatkan, EBT adalah sumber energi yang tiada putus-putusnya.
EBT dapat diperoleh secara cepat, mudah, murah, sehat, dan ramah lingkungan. Sekitar 40% potensi cadangan panas bumi dunia ada di sini. Kita punya matahari yang bersinar terik hampir sepanjang tahun, angin yang berembus kencang setiap waktu, ombak laut yang tak pernah berhenti berdebur, dan sungai-sungai deras berjeram.
Semua dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Lagi pula, Indonesia adalah produsen minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) terbesar di dunia. Dan, bukankah buah jarak, singkong, jagung, serta tebu tumbuh subur di negeri ini? Selain bahan pangan, komoditas-komoditas perkebunan tersebut dapat digunakan sebagai bahan baku bioenergi. Meski menjadi lumbung EBT, Indonesia belum memperoleh manfaat yang maksimal dari sumber ‘energi hijau’ tersebut.
Itu karena Indonesia terus terbuai oleh energi fosil. Buktinya, dari potensi energi terbarukan sebesar 417,8 GW, pemanfaatannya baru sekitar 10,4 GW atau 2,5%-nya. Kapasitas terpasang pembangkit surya sejauh ini baru mencapai 0,15 GW dari potensi 207,8 GW, energi air baru 6,08 GW dari 75 GW, energi bayu 0,15 GW dari 60,6 GW, bioenergy 1,89 GW dari 32,6 GW, dan panas bumi 2,13 GW dari 23,9 GW. Potensi energi laut yang mencapai 17,9 GW malah belum dimanfaatkan sama sekali.
Kita secara jujur harus mengakui, program pengembangan EBT belum menjadi isu besar pemerintah. Program ini hanya mencuat tatkala isu-isu populis muncul, seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), perubahan iklim, dan pembangunan ekonomi ramah lingkungan.
Kurangnya visi pemerintah dalam program pengembangan EBT juga bisa dilihat secara kelembagaan. Pemerintah baru membentuk Ditjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada pertengahan 2010. Tak mengherankan jika Indonesia tertinggal dalam pengembangan EBT. Pembangunan proyek pembangkit listrik berbasis panas bumi sangat minim. Apalagi pembangkit listrik berbasis sinar matahari, angin, dan arus laut.
Baru program mandatori biodiesel berbasis sawit yang progresnya cukup menggembirakan. Dalam waktu 12 tahun, pemerintah berhasil meningkatkan program pencampuran biodiesel dengan solar, dari 2,5% pada 2008 menjadi 30% (B30) pada 2020. Program pengembangan EBT harus dijalankan demi menjaga ketahanan energi nasional. Jika tidak sungguh-sungguh mengembangkan EBT, bangsa Indonesia bisa terjerumus ke dalam tragedi energi.
Cadangan minyak kita tinggal satu dekade lagi, gas tinggal 30 tahun, dan batu bara tinggal 65 tahun. Sejak dua dekade terakhir, Indonesia pun sudah menjadi importir sejati minyak (net oil importer). Ketergantungan terhadap energi fosil harus dihentikan. Selain merusak lingkungan, ketergantungan pada BBM impor bakal menguras cadangan devisa, memicu defisit neraca perdagangan, dan memperlebar defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
Rupiah rawan terdepresiasi. Ekonomi dalam negeri terus dibayang-bayangi inflasi barang impor (imported inflation). Itu sebabnya, kita berlega hati ketika PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) dan PT Terregra Asia Energy Tbk (TGRA) menandatangani kesepakatan induk (master of agreement) pembangunan tujuh proyek EBT senilai total Rp 12,5 triliun. Investasi ini diharapkan tak hanya berdampak positif terhadap kinerja bisnis atau kinerja saham kedua emiten, tapi juga terhadap ketahanan energi nasional ke depan.
Tujuh proyek EBT yang akan dibangun meliputi lima proyek Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di daerah Sumatera Utara dan dua proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di wilayah Nangroe Aceh Darussalam. Seluruhnya memiliki total kapasitas 509.98 MW. Kelima proyek PLTMH telah memiliki perjanjian jual beli listrik (power purchase agreement/PPA) dengan PT PLN (Persero). Kita terus mendorong investasi EBT secara luas dan mendukung regulasi pemerintah yang ramah EBT. Terlebih dalam kebijakan energi nasional (KEN), pemerintah menargetkan porsi bauran EBT sebesar 23% pada 2025 dari saat ini sekitar 11,9%.
Target itu hanya bisa dicapai jika pemerintah membuat langkah-langkah terobosan untuk menarik sebanyak mungkin investor EBT serta penggunaan secara luas EBT di berbagai sektor, dari transportasi, otomotif, rumah tangga, sampai industri manufaktur. Perlu digarisbawahi, pemanfaatan EBT secara luas dan masif bukan hanya akan menyelamatkan perekonomian, tetapi juga menjaga pertahanan dan keamanan nasional.
Cadangan energi yang minim bisa mengancam kedaulatan negara, terutama saat negeri tercinta mendapat ancaman dari negara lain. Ke depan, EBT harus menjadi primadona, baik dalam kebijakan pemerintah maupun dalam penggunaannya secara luas di masyarakat. Paradoks mati di lumbung energi tak boleh berlaku bagi Indonesia, negeri di mana sumber EBT berlimpah ruah.
(Bagus)