HKTI: RI Bisa Ketergantungan Kedelai Impor
BIMATA.ID, JAKARTA- Kenaikan harga kedelai kini tengah menjadi perbincangan di publik. Bagaimana tidak, peningkatan harga komoditas itu membuat harga tahu dan tempe ikut naik.
Kementerian Perdagangan mencatat harga kedelai di pasar internasional naik 9 persen dari kisaran US$11,92 menjadi US$12,95 per busel. Alhasil, harga kedelai impor yang dibeli Indonesia naik dari kisaran Rp9.000 menjadi Rp9.300 per kilogram (kg).
Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jawa Barat Entang Sastraatmaja mengatakan Indonesia bergantung dengan kedelai impor. Pasalnya, kualitas kedelai lokal masih kalah dibanding produksi luar negeri.
“Perajin tahu dan tempe lebih senang kedelai impor karena besar-besar. Kalau kedelai lokal kecil-kecil. Nanti tahu dan tempenya ikut kecil,” ucap Entang.
Hanya sedikit petani yang mau menanam kedelai. Apalagi, selain tak diminati perajin tahu dan tempe, harga jual kedelai lokal terbilang murah.
Entang menyatakan petani hanya meraup untung sedikit jika menanam kedelai. Untuk itu, petani lebih suka menanam komoditas lain, seperti jagung atau padi.
“Kalau harga dinaikin agar petani untung tapi kan tetap pengrajin tampe dan tahu tidak suka kedelai lokal karena kecil,” ujar Entang.
Kedelai lebih cocok ditanam di negara sub tropis. Makanya, Indonesia sebagai negara tropis tak bisa menghasilkan kedelai sebagus negara subtropis, seperti Amerika Serikat (AS).
“Indonesia sudah beberapa tahun ini mencoba memperbaiki, tapi tidak pernah berhasil. Lalu pemerintah juga masih setengah hati untuk mengembangkan kedelai ini, karena masih fokus ke padi,” terang Entang.
Entang menyarankan agar pemerintah membuat peta jalan (road map) yang lebih rapi untuk melakukan budidaya kedelai lokal. Misalnya, pemerintah harus menetapkan lahan mana saja yang bisa digunakan dan harus dipakai untuk menanam kedelai.
“Harus jelas lahannya, lahan yang akan digunakan untuk menanam kedelai. Jangan-jangan kedelai itu hanya pengganti padi atau pengganti jagung,” kata Entang.
Entang menyarankan agar pemerintah mendata ada berapa petani kedelai di Indonesia. Sebab, hanya sedikit jumlah petani kedelai di dalam negeri.
“Di perencanaan nanti ketahuan, ada berapa lahan yang bisa digunakan dan berapa potensinya. Petani kedelai berapa,” jelas Entang.
Entang menyatakan jumlah produksi kedelai lokal tak sampai 1 juta ton. Sementara, kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai jutaan per tahunnya.
“Kalau pun bisa ditanggulangi pakai produksi lokal untuk kebutuhan dalam negeri, tapi kan kembali, pengrajin tidak suka kedelai lokal,” tutur Entang.
Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo mengaku akan melipatgandakan produksi atau ketersediaan kedelai di dalam negeri. Komitmen ini dikemukakan di tengah lonjakan harga kedelai impor yang mengakibatkan harga tahu tempe naik. Ia mengakui pengembangan kedelai lokal sulit dilakukan oleh petani di dalam negeri. Padahal, kebutuhannya setiap tahun terus meningkat.
“Petani lebih memilih untuk menanam komoditas lain yang punya kepastian pasar. Namun, kami terus mendorong petani untuk melakukan budidaya,” kata Syahrul.
Saat ini, Kementerian Pertanian tengah menyusun dan mengawal implementasinya di lapangan. Upaya ini dilakukan untuk menekan impor kedelai, mengingat harganya saat ini masih tinggi.
(Bagus)