Penulis : Moh. Nurmawan Pakaya
Sudah saya katakan berulang kali. Boalemo —Tilamuta, selalu seksi untuk diperbincangkan. Pada perkara yang lain, ketertarikan saya untuk terus membicarakannya dikarenakan isu-isu sosial dan politik lokal yang sedang kencang-kencangnya berhembus di sana. Wew.
Daerah yang terletak di bagian barat (tidak terlalu barat atau kebarat-baratan) Gorontalo itu, memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal, nasional maupun mancanegara. Sebut saja beberapa spot wisata (pantai) yang menarik minat banyak orang untuk menghabiskan waktu liburnya di sana. Boalemo nun jauh di sana masih tetap menjadi alasan mengapa rindu tidak pernah berkesudahan. Sampai di sini, mari melepas diri sejenak tentang garis pantai yang indah di bumi maleo itu.
Saya hendak mengajak saudara para penikmat wacana saya, cieeee penikmat. Ya, saya hendak mengajak saudara sekalian untuk kembali menikmati wacana saya. Terlepas nantinya ada yang akan setuju atau tidak, toduwolo. Toh saya tidak memaksakan saudara-saudara sekalian untuk mengimani setiap apa yang saya wacanakan.
Saya mulai..
Ada baiknya saya memulai dengan sebuah artikel yang dimuat oleh media online (DM1.co.id). Media yang sudah lama mengulas isu-isu “miring” seputar Kabupaten Boalemo.
Keren bukan?
Artikel tersebut bukan tanpa sengaja diberi judul keren oleh penulis. Adalah Herman Muhidin, sosok pemerhati sosial, hukum dan politik, di Gorontalo, yang menuliskan artikel tersebut dengan judul “Menakar Legalitas dan Legitimasi “Sekda” Sherman Moridu.”
Kata “Menakar” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diketahui memiliki makna “mengukur”banyaknya barang. Apa yang diukur? Nah, dari sini, saya kira sebagai permulaan yang bagus untuk memahami artikel yang ditulis Herman.
Apa yang hendak diukur dari seorang Sherman? Jabatannya? Saya kira bukan itu. Sebab jabatan itu sendiri adalah bagian subyektif. Namun jika yang dimaksudkan dengan kata menakar adalah mengukur berat badan Sherman, itu masih masuk akal. Atau mengukur panjang perjalan dinas seorang Sherman, itu juga masih masuk akal.
Bukankah sesuatu yang hendak diukur harus terlihat keberadaannya? Jadi, saya kira tidak ada salahnya Jabatan Sekda disematkan kepada Sherman Moridu dan memang tidak perlu ditakar, diukur pun harus di timbang — timang. Itu tidak perlu.
Namun, jika yang disoalkan adalah “Legalitas dan Legitimasi”, saya kira kita akan sama-sama bersepakat untuk hal itu. Mempertanyakan legalitas dan legitimasi seorang Sherman Moridu yang hari ini sedang menjabat sebagai panglima ASN di Boalemo. Bukan malah ditakar. Maka, sekali lagi tidak ada yang perlu ditakar!
Lalu ada apa dengan legalitas dan legitimasi seorang Sherman sebagai panglima ASN?
Bung Herman (maaf saya sebut Bung), dalam artikelnya telah mengurai sebagian besar alasannya. Tentu legitimasi tersebut berkaitan dengan surat keputusan yang disahkan oleh mantan bupati Boalemo terhukum kasus penganiayaan berat itu. Sementara legalitas yang Bung Herman maksudkan adalah soal “kapan” peristiwa penandatanganan surat keputusan tersebut. Bukankah begitu, bung?
Konon, surat keputusan pelantikan Sherman Moridu, telah ditandatangani pada tanggal 9 Oktober, 2020. Semntara pada tanggal 7 November, 2020 yang lalu, telah diterbitkan surat keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pemberhentian Bupati Darwis Moridu.
Artinya, dalam rentan waktu sejak dinonaktifkannya Bupati Darwis, segala keputusan yang ia buat secara otomatis “tidak berlaku” lagi. Bukankah begitu saudara-saudaraku sekalian? Jika saya ada di posisi Sherman saat ini, dengan penuh kesadaran dan sukarela saya akan memundurkan diri dari jabatan sekda. Biar apa? Biar tidak ada kesan “Golojo jabatan”. Hehe.
Kembali pada persoalan “Menakar” yang saya tidak sepakati di judul artikel Bung Herman.
Bagi saya, yang layak untuk ditakar adalah berapa jumlah total APBD yang telah diketuk palu oleh para Anggota Dewan Yang Gila Hormat itu? Berapa besaran fee proyek masing-masing anggota dewan “ngehek” itu? Berapa jumlah tenaga kontrak yang terpaksa dirumahkan oleh pemerintah Kabupaten Boalemo itu? Berapa ratus guru kontrak yang sampai hari ini belum terbayarkan gaji bulanan mereka? Berapa orang pejabat yang tersandung kasus korupsi? Berapa orang anggota dewan yang tersandung kasus narkoba di sana? Keseluruhan pertanyaan saya itu yang harusnya ditakar oleh Bung Herman. Sebab itu nampak dan benar-benar ada kejadiannya.
Alih-alih Bung Herman hanya berasumsi soal kekhawatiran sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang menilai bahwa APBD 2021 bisa ikut dibatalkan lantaran legalitas dan legitimasi seorang Sherman yang hendak di takarnya. Awokawok.
Kopi saya habis, bung.
(*****)