BIMATA.ID, JAKARTA- Organisasi Buruh Internasional atau ILO memperkirakan, 14,2 juta lapangan kerja baru akan tercipta pada 2030 di Asia Pasifik apabila setiap negara berkomitmen pada kesepakatan perubahan iklim. Setiap dollar AS investasi energi terbarukan menyediakan lapangan kerja 2-5 kali lebih banyak dibandingkan dengan pada proyek energi fosil.
Di Indonesia, proyek energi terbarukan dapat menjadi bagian program pemulihan ekonomi nasional yang terdampak akibat pandemi Covid-19.
Demikian poin yang mengemuka dalam webinar bertajuk ”Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional dan Pertumbuhan Ekonomi Hijau”, Kamis (3/12/2020), yang diselenggarakan Institute for Essential Services Reform (IESR).
Hadir sebagai narasumber dalam webinar ini adalah Senior Specialist on Environment and Decent Work ILO Cristina Martinez, Penasihat Investasi Proyek untuk Global Green Growth Institute Indonesia Dessi Yuliana, Co-Founder Indonesia Research Institute for Decarbonization Kuki Soejachmoen, Analis Kebijakan pada Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Noor Syaifudin, dan Direktur Hubungan Masyarakat, Komunikasi, dan Keberlanjutan Coca Cola Amatil Indonesia, Lucia Karina.
Menurut Cristina, komitmen negara di kawasan terhadap Perjanjian Paris 2015 dapat menciptakan lapangan kerja baru. Di kawasan Asia Pasifik terdapat potensi 14,2 lapangan kerja baru atau yang tertinggi di seluruh dunia. Pekerjaan baru untuk mengantisipasi perubahan iklim global tersebut harus mampu membatasi peningkatan emisi gas rumah kaca, melindungi dan memperbaiki ekosistem, mengurangi polusi dan sampah, serta menghasilkan efisiensi penggunaan energi.
”Sebagai contoh, lapangan kerja baru untuk proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB). Di setiap tahapnya membutuhkan banyak tenaga kerja, mulai dari industri manufakturnya, perencanaan proyek, konstruksi, hingga pengoperasian dan pemeliharaan,” kata Cristina.
Proyek energi terbarukan dapat menjadi peluang atau solusi bagi pemulihan ekonomi Indonesia yang terdampak pandemi Covid-19. Peluang lapangan kerja baru yang diciptakan dari proyek energi terbarukan lebih tinggi ketimbang pada proyek energi fosil. Setiap dollar AS investasi energi terbarukan menyerap 2-5 kali lebih banyak tenaga kerja dibanding pada proyek energi fosil.
”Untuk proyek-proyek pada energi terbarukan, serapan tenaga kerja akan lebih banyak pada tahap konstruksi dibandingkan pada tahap operasi dan pemeliharaan. Tak hanya itu, proyek pencegahan iklim juga bisa dilakukan dengan cara restorasi lahan gambut dan mangrove, reboisasi hutan, dan pembangunan irigasi,” kata Dessi.
Sementara itu, dari sisi anggaran negara, untuk mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca di Indonesia sebesar 29 persen pada 2030 dibutuhkan pembiayaan sebanyak Rp 3.461 triliun. Namun, kemampuan anggaran negara hanya sekitar 34 persen dari total anggaran yang dibutuhkan tersebut. Dalam kurun 5 tahun terakhir, rata-rata alokasi belanja negara untuk proyek pencegahan perubahan iklim sebesar Rp 89,6 triliun.
”Tahun ini, alokasi untuk proyek pencegahan perubahan iklim di Indonesia berkurang akibat realokasi anggaran terkait pandemi Covid-19. Diperlukan dukungan pembiayaan dari berbagai sumber untuk mencapai target pengurangan emisi di Indonesia pada 2030,” ujar Noor.
Dari sektor swasta, pemakaian energi yang bersumber dari energi terbarukan menjadi syarat agar produk industri bisa diterima oleh pasar, khususnya pasar Eropa. Salah satu industri di Indonesia yang menggunakan sumber energi terbarukan adalah Coca Cola Amatil Indonesia, salah satu industri sektor makanan dan minuman. Pada salah satu lokasi pabrik di Cikarang, Jawa Barat, Coca Cola telah memasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap dengan kapasitas 7,2 megawatt peak.
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa mengatakan, penting bagi pemerintah Indonesia untuk mempermudah industri memanfaatkan sumber energi terbarukan di dalam negeri. Hal ini untuk mengantisipasi kebijakan pembatasan emisi karbon yang diterapkan pasar global agar sebuah produk bisa diterima. Negara di kawasan ASEAN sudah mulai mengantisipasi hal tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina.
”Kemudahan itu sebaiknya diberikan pada industri yang hendak memasang PLTS atap serta akses terhadap sumber energi terbarukan lain yang dikembangkan oleh PLN ataupun swasta,” kata Fabby.