BIMATA.ID, JAKARTA- Kebijakan cukai yang telah dinanti banyak pihak, termasuk oleh pemerhati kesehatan, pertanian, dan berbagai pemangku kepentingan terkait, telah diumumkan. Pengumuman yang biasanya dilakukan pada akhir Oktober kini mengalami kemunduran hingga awal Desember 2020.
Kondisi tak biasa saat negara masih berjuang melawan pandemi korona (Covid-19) menjadi pertimbangan pemerintah untuk menyeimbangkan kebijakan dari sisi kesehatan dan ekonomi secara umum, terutama kelompok pekerja dan petani. Pada tataran ini dimensi pemahaman yang berkembang lebih banyak mempertimbangkan lima aspek, yaitu kesehatan terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan negara.
Berangkat dari kelima instrumen tersebut, pemerintah berupaya untuk dapat menciptakan kebijakan tarif cukai hasil tembakau yang inklusif. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap tiap aspek pertimbangan. Selama terjadi Covid-19 kinerja industri hasil tembakau (IHT) turut mengalami pelemahan akibat dampak kenaikan cukai 23% dan harga jual eceran (HJE) 35% pada tahun ini. Di sisi lain Covid-19 telah membuat permintaan dan produksi mengalami penurunan tajam. Pada kuartal II/2020 IHT terkontraksi hingga minus 10,84% (yoy).
Bahkan disebutkan kontraksi ini lebih dalam daripada kondisi industri pengolahan secara keseluruhan yang mengalami minus 6,19%. Selain itu kondisi sulit yang dialami IHT tecermin pada penjualan yang menurun. Walaupun begitu beberapa sektor industri pada akhir November sudah menunjukkan capaian Purchasing Manager Index (PMI) mulai menuju ke level di atas 50.
Pemerintah menetapkan rata-rata tertimbang dari kenaikan tarif cukai per jenis rokok sebesar 12,5%. Kenaikan cukai rokok meliputi industri sigaret putih mesin (SPM) golongan 1 akan dinaikkan sebesar 18,4%, SPM golongan 2A dinaikkan 16,5%, SPM golongan 2B dinaikkan 18,1%, sigaret kretek mesin (SKM) golongan 1 dinaikkan 16,9%, SKM golongan 2A dinaikkan 13,8%, SKM golongan 2B dinaikkan 15,4%. Di sisi lain khusus untuk industri sigaret kretek tangan (SKT) tidak mengalami perubahan tarif cukai berdasarkan pertimbangan situasi pandemi dan serapan tenaga kerja oleh IHT.
Penerimaan Negara vs Rokok Ilegal
Di tengah berbagai gejolak isu yang menghantam IHT, tak dapat dimungkiri bahwa IHT hingga kini merupakan salah satu industri yang berperan cukup besar dalam perekonomian Indonesia. IHT merupakan industri yang memiliki ketaatan pajak tinggi dan dikenai pajak dengan proporsi yang sangat besar pada setiap batang rokok yang dihasilkan. Data menunjukkan bahwa selama ini cukai rokok menyumbang hingga 97% dari total keseluruhan penerimaan cukai serta menyumbang 11% dari total APBN. Terbaru, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan cukai hingga Mei 2020 mencapai Rp68,3 triliun yang sebagian besarnya berasal dari IHT.
Konsekuensi atas perubahan tarif cukai diharapkan selain meningkatkan penerimaan negara, juga dapat mencegah peredaran rokok ilegal. Pasalnya besarnya peredaran rokok ilegal di Indonesia maupun di dunia merupakan efek domino yang timbul akibat kenaikan tarif cukai yang semakin besar. Salah satu penyebab tingginya peredaran rokok ilegal adalah untuk memenuhi permintaan dari masyarakat. Di Malaysia peredaran rokok ilegal cukup tinggi hingga lebih dari 50%. Salah satu penyebab tingginya peredaran rokok ilegal di Malaysia ialah karena adanya single tarrif sehingga mendorong pabrik rokok yang kecil dan tidak efisien untuk memproduksi rokok ilegal.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kenaikan tarif cukai dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peredaran rokok ilegal. Perokok dengan pendapatan yang lebih rendah cenderung membeli rokok ilegal sebagai kompensasi atas kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai (Schafferer dkk, 2018). Banyaknya rokok ilegal yang beredar di Indonesia, khususnya di daerah kawasan bebas atau free trade zone (FTZ) Batam, menyebabkan rokok ilegal dijual dengan harga sekitar 50% lebih murah daripada rokok yang dikenai cukai, pajak rokok, dan PP.
Kenaikan harga rokok yang terus-menerus terjadi karena kenaikan tarif cukai menyebabkan daya beli masyarakat Indonesia terhadap rokok legal semakin turun. Maka para perokok tersebut akan beralih pada rokok ilegal untuk dapat tetap mengonsumsi rokok dengan harga terjangkau.
Melalui kebijakan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT), pemerintah menargetkan sumbangan penerimaan melalui cukai dalam APBN 2021 sebesar Rp173,78 triliun. Guna memastikan tercapainya tujuan kebijakan cukai hasil tembakau tersebut dan meredam dampak kebijakan yang tidak diinginkan, pemerintah membuat bantalan kebijakan dalam bentuk pengaturan ulang penggunaan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT). Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan DBH CHT pada 2021 sebesar 50% yang akan digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani/buruh tani tembakau dan buruh rokok.
Berdasarkan alokasi tersebut, sebesar 35% akan diberikan melalui dukungan program pembinaan lingkungan sosial yang terdiri atas Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada buruh tani tembakau dan buruh rokok. Kemudian sebesar 5% untuk pelatihan profesi kepada buruh tani/buruh pabrik rokok, termasuk bantuan modal usaha kepada buruh tani/buruh pabrik rokok yang akan beralih menjadi pengusaha UMKM. Adapun 10%-nya untuk dukungan melalui program peningkatan kualitas bahan baku.
Alokasi lainnya, yaitu 25%, adalah untuk mendukung program jaminan kesehatan nasional dan 25% untuk mendukung penegakan hukum dalam bentuk program pembinaan industri, program sosialisasi ketentuan di bidang cukai, serta program pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Roadmap IHT dan Pengendalian Rokok Ilegal
Upaya lain pemerintah dalam menekan peredaran rokok ilegal di Indonesia adalah melalui pengawasan dan penindakan yang akan terus ditingkatkan, baik yang bersifat preventif maupun represif. Hingga 30 November 2020, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai unit di bawah Kemenkeu telah melakukan penindakan sebanyak 8.155 kali dengan rata-rata 25 tangkapan per hari. Penindakan tersebut berhasil mengamankan 384,51 juta batang rokok ilegal atau senilai dengan Rp339,18 miliar. Meskipun dalam situasi pandemi, kegiatan pengawasan dan penindakan bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya meningkat 41,23% (yoy).
Peningkatan operasi penindakan sangat diperlukan untuk memberikan playing field yang sama dan fair kepada para pelaku industri. Melalui penindakan yang terstruktur dan terus-menerus, kita berharap peredaran rokok ilegal akan menurun dan para pengusaha tersebut dibina untuk bisa patuh dalam membayar cukai. Selain itu penindakan ini sebagai bagian dari apresiasi pemerintah kepada para pembayar cukai yang jujur dan tertib untuk bermain di lapangan yang bersih dan adil.
Polemik ketidakpastian kebijakan kenaikan tarif cukai yang datang hampir setiap tahun perlu segera diakhiri. Untuk menyelesaikan polemik tersebut, pemerintah perlu segera merumuskan strategi kebijakan penyusunan peta jalan (roadmap) industri hasil tembakau dan rencana strategis pertembakauan nasional yang berbasis kesejahteraan petani dan pasar global, baik sebagai potensi warisan budaya maupun diversifikasi produk hasil tembakau nonrokok.
(Bagus)