Bimata

Harga Lada Naik Lagi, Petani Bernafas Lega

BIMATA.ID, BANGKA BELITUNG- Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman Djohan mengatakan kenaikan harga lada putih dari Rp55.000 menjadi Rp61.000 per kilogram telah menggerakkan ekonomi masyarakat desa di tengah pandemi covid-19.

“Alhamdulillah, saat ini petani kembali bergairah mengembangkan usaha perkebunan lada,” kata Erzaldi Rosman Djohan saat berkunjung ke kebun lada petani Desa Simpang Katis, Bangka Tengah, Rabu (9/12).

Ia menyebut kenaikan harga lada putih ditingkat petani ini buah sinergi Pemerintah Provinsi Kepulauan Babel dengan petani, dalam meningkatkan produksi. Juga, mendongkrak kualitas lada putih hingga berdaya saing di pasar dalam dan luar negeri.

“Kami bersyukur harga lada kembali naik dan kenaikan harga ini tidak terlepas dari keberhasilan rekan-rekan penyuluh kita memberikan masukan-masukan kepada petani dalam meningkatkan kualitas lada,” ujarnya.

Salah seorang petani yang tergabung di Kelompok Tani (Poktan) Jaya Lestari Desa Puput, Yanto mengatakan saat ini harga lada tengah melonjak naik sampai Rp 5.000 dari harga sebelumnya.

“Alhamdulilah sekarang ini, harga sudah melonjak dari Rp55.000 menjadi Rp61.000 per kilo. Jika dulu dengan harga lada rendah hanya untuk modalpun pas-pasan, tetapi dengan harga yang sekarang sudah bisa mencicipi walau tidak banyak,” ungkapnya.

Menurut dia, dengan harga yang naik pada Selasa (8/12), sudah bisa membantu untuk membeli pupuk. Dirinya mengaku berkomunikasi dengan poktan maupun petani lain mengenai kenaikan tersebut.

“Dengan kondisi ini harga naik kawan-kawan petani jadi semangat merawat tanaman ladanya, bahkan sebagian petani menambah luas tanam komoditas ekspor tersebut,” katanya.

Sejak Januari 2020, Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung mengubah sistem tata niaga lada putih, sebagai langkah strategis mendongkrak harga komoditas ekspor tersebut di pasar global. Perubahan sistem ini dimulai dari tata niaga, hilirisasi, hingga pemasaran lada antarpulau di Indonesia dan internasional, sehingga dapat memutus mata rantai sehingga dapat menaikkan harga ditingkat petani.

“Untuk hilirisasi lada sudah dilakukan oleh UMKM dan Koperasi Petani Lada akan membeli lada langsung ke petani dengan harga standar yang sudah ditetapkan oleh Komite Penetapan Harga Lada,” ujar Ezraldi, Jumat (10/1).

Sementara itu, untuk pemasaran lada putih ini akan dilakukan petani milenial dan penguatan informasi teknologi muda, sehingga memudahkan buyer atau pembeli untuk membeli hasil lada petani.

“Selama ini petani menjual hasil panen ke pedagang pengumpul dengan harga murah dan tahun ini mereka UMKM dan koperasi akan langsung membeli hasil panennya dengan harga yang telah ditetapkan, sehingga petani tidak lagi kesulitan menjual hasil panennya,” katanya.

Kenaikan produksi melampaui peningkatan konsumsi disebut menjadi penyebab harga lada anjlok. Staf Ahli Bidang Hubungan Internasional Kementerian Perdagangan Arlinda pada Selasa (17/9/2019) menjelaskan konsumsi lada di dunia hanya meningkat sekitar 2% per tahun. Tidak sejalan dengan produksinya yang tumbuh sekitar 7-8% per tahun.

Akibatnya, harga lada di Indonesia semakin terpuruk. Kementerian Perdagangan mencatat harga lada putih pada 2016 sempat mencapai Rp157.000 per kilogram, namun pada September 2019 harga bahkan menyentuh Rp37.000 per kg. Sementara itu lada hitam harganya sempat mencapai Rp121.000 per kg pada 2017, turun menjadi Rp22.000 per kg pada September 2019.

Konsumsi lada dunia mencapai puncak pada 2017, dengan nilai US$4,2 miliar. Namun, konsumsi beranjak turun di tahun-tahun berikutnya.

Negara dengan tingkat konsumsi tertinggi adalah Vietnam, yang menyerap 166 ribu ton pada 2018. Disusul India 86 tibu ton dan Amerika Serikat 68 ribu ton. Ketiganya mencakup 41% dari total konsumsi lada dunia.

Dilihat dari nilai, konsumsi lada Vietnam mencapai US$904 juta. Sedangkan India dan Amerika Serikat masing-masing US$506 juta dan US$374 miliar. Total nilai dari tiga negara ini mencapai 43% dari nilai konsumsi global.

Negara lain yang juga memiliki tingkat konsumsi tinggi adalah Bulgaria, Indonesia, China, Singapura, Malaysia, Sri Lanka, Jerman, Uni Emirat Arab dan Inggris. Volume maupun nilai konsumsi dari negara-negara ini mencapai 33%.

Dari sisi produksi, volumenya mencapai 752 ribu ton atau naik 5,1% pada 2018. Negara dengan volume produksi lada terbesar adalah Vietnam yakni 273 ribu ton, atau sekitar 36% dari total produksi dunia. Produksi lada di Vietnam tercatat lebih dari tiga kali lipat dari melebihi angka yang diperoleh produsen terbesar kedua dunia, Indonesia. Di tahun yang sama, Indonesia hanya memproduksi 88 tibu ton ton. Peringkat ketiga ditempati oleh Brasil dengan produksi 80 ribu ton.

Di Vietnam, produksi lada meningkat pada tingkat tahunan rata-rata 8,1% selama periode 2007-2018. Sementara di Indonesia, produksi tumbuh 0,8% per tahun dan Brazil 0,2% per tahun.

 

(Bagus)

Exit mobile version