BeritaEkonomiEnergiNasional

BBN Berbasis Sawit Harapan Ketahanan Energi Indonesia

BIMATA.ID, JAKARTA- Perkembangan industri Bahan Bakar Nabati (BBN) meningkat pesat. Bagi Indonesia, BBN tidak hanya memenuhi pasar domestik namun juga menopang penyerapan minyak sawit yang menjadi bahan baku utama pada pembuatan biofuel serta mengurangi impor bahan bakar fosil.

Ketua Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan menjelaskan awal pengembangan BBN didorong akibat semakin besarnya defisit neraca perdagangan imbas impor bahan bakar fosil. Data 2019 menunjukkan defisit yang mencapai USD9,3 miliar akibat impor kurang lebih 50 persen bahan bakar fosil di Indonesia.

“Sebaliknya, melalui program mandatori biodiesel 30 (B30) berbasis sawit yang dicanangkan pemerintah mampu menghemat devisa hingga USD3,09 miliar atau setara Rp44,74 triliun di 2020,” ujar Paulus dalam acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2020 New Normal secara virtual, Rabu, 2 Desember 2020.

Program B30 juga berkontribusi pada pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (EGRK) sebesar 17,5 juta ton karbon dioksida atau setara dengan 45 persen pada target energi dan transportasi di 2019.

“Juga, diproyeksikan akan mengurangi 25 juta ton karbondioksida atau 68 persen dalam kontribusi pada target energi dan transportasi,” paparnya.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengungkapkan bahwa BBN berbasis sawit telah menjadi bagian dari strategi ketahanan energi pemerintah. Sejak awal 2020, B30 telah memproduksi 4,28 juta ton biodiesel pada semester I-2020.

Pemerintah menciptakan lima langkah strategis untuk pengembangan BBN. Pertama, dengan menjamin program B30 berjalan sesuai target. Kedua, riset dan perencanaan pengembangan B40 dan B50 baik dari sisi teknis dan ekonomis, meliputi road test serta pengujian pada mesin pembangkit listrik tenaga diesel.

Ketiga, melalui kerja sama dengan Pertamina dalam mendorong program green fuel dengan memproduksi green diesel, green gasoline, dan green avtur beserta studi kebijakan, efisiensi, teknologi, pasokan, insentif dan infrastruktur pendukung, beserta pengembangan industri pendukung seperti metanol dan katalis.

Keempat, pengembangan hidrogenasi minyak sawit (HPO) bekerja sama dengan Pertamina, Pupuk Indonesia, ITB, BPDP-KS dan pemangku kepentingan lain. Kelima, memanfaatkan lahan reklamasi atau bekas pertambangan bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara dan pemerintah daerah dalam mengidentifikasi lahan bekas tambang, serta bekerja sama dengan Kementerian Pertanian untuk menentukan komoditas yang paling cocok.

“Pemerintah sedang melakukan uji coba HPO (D-100) yang dimulai sejak pertengahan 2020. Secara kualitas, sejauh ini HPO lebih bagus daripada biofuels ataupun jenis diesel lainnya. HPO sangat mirip dengan minyak diesel namun terkait nilai kalori, diesel lebih sedikit dibanding HPO,” pungkas Dadan.

 

(Bagus)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close