BeritaEkonomiEnergiNasional

Hambatan Menuju Penggunaan Energi Hijau

BIMATA.ID, JAKARTA- Pemerintah terus mendorong penggunaan energi hijau yang ramah lingkungan. Namun, upaya tersebut tidak mudah lantaran beberapa proyek pembangkit energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih mengalami kendala.

Asal tahu saja, pemerintah menargetkan porsi EBT dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN di tahun 2025 sebanyak 23%.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai, berdasarkan kajian pihaknya, perlu ada penambahan kapasitas pembangkit EBT sebanyak 14 gigawatt (GW) sampai 15 GW untuk mencapai target RUEN tersebut.

“Jika dirata-rata, maka perlu dilakukan penambahan kapasitas pembangkit EBT 2,5 GW—3 GW per tahun,” ujar dia, Rabu (18/11).

Merujuk pada berita terdahulu, Kementerian ESDM menyebut, selama periode 2017—2020, terdapat 83 kontrak jual-beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) yang melibatkan pengembang listrik swasta dengan total kapasitas 1.771,41 megawatt (MW).

Dari jumlah tersebut, 24 unit pembangkit sudah beroperasi secara komersial dengan total kapasitas sebesar 437,54 MW. Kemudian, terdapat 28 pembangkit yang sudah masuk ke tahap konstruksi dengan total kapasitas mencapai 799,71 MW.

Di sisi lain, masih ada 24 proyek pembangkit EBT yang belum mendapat kepastian pendanaan atau financial closing (FC).

Direktur Aneka Energi Kementerian ESDM, Harris Yahya, menyebut, tidak semua proyek yang belum mencapai FC kesulitan mendapat pendanaan. Beberapa di antaranya sudah ada yang mendapatkan calon pendanaan, namun masih harus memenuhi sejumlah persyaratan.

“Persiapan FC itu ada yang sudah mendapatkan bank yang akan memenuhi pinjaman, namun syarat FC belum lengkap,” terangnya, 28 Juli 2020.

Kriteria lainnya dari persiapan FC adalah proyek yang masih mencari pendanaan, PPA sudah berlaku efektif namun masih proses FC, serta proyek yang dalam proses penyiapan jaminan pelaksanaan dan jaminan penawaran di saat PPA belum berlaku efektif.

Menurut Fabby, proyek pembangkit EBT yang belum mencapai FC merupakan sisa-sisa dari proyek yang melalui proses Memorandum of Understanding (MoU) sepanjang 2017 dan 2018 lalu. Proyek-proyek EBT tersebut terkendala bankability mengingat proses penentuan harga listriknya masih mengacu pada Peraturan Menteri ESDM No. 50 Tahun 2017.

Proyek-proyek EBT yang belum mencapai FC juga disebabkan adanya kendala kemampuan penyediaan ekuitas dari pengembang yang bersangkutan. Adanya pandemi Covid-19 juga mempengaruhi proses penyelesaian PPA, termasuk proses pemenuhan ketentuan FC dari beberapa proyek pembangkit EBT.

Untuk mempercepat pengembangan EBT, kuncinya antara lain harga jual listrik EBT harus merefleksikan keekonomian pembangkit dan risiko proyek, kemampuan pengembang dalam memenuhi ketentuan perbankan supaya bisa FC, serta proses PPA yang cepat, transparan, dan kredibel.

Maka dari itu, regulasi yang dikeluarkan pemerintah, termasuk Peraturan Presiden terkait harga pembelian listrik EBT dinilai akan sangat membantu proyek-proyek EBT.

“Misalnya dengan adanya ketentuan Feed in Tariff (FiT) untuk pembangkit skala kecil atau di bawah 5 MW, diharapkan dapat mengatasi kendala harga listrik dan masalah proses PPA, serta meningkatkan bank ability suatu proyek EBT,” pungkas Fabby.

(Bagus)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close