BeritaEkonomiNasionalProperti

Dana PEN Jadi Alat Pacu Sektor Properti

BIMATA.ID, JAKARTA- Pemerintah mengucurkan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) melalui bank-bank BUMN. Program ini membuka peluang PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) memompa sektor properti yang menjadi salah satu pendorong Produk Domestik Bruto (PDB).

Krisis pandemi tahun ini memukul berbagai sendi perekonomian, seiring dengan kebijakan pembatasan sosial untuk mengerem penyebaran virus Covid-19. Industri properti yang telah tersengal-sengal dalam beberapa tahun pun kian terpukul.

Sejak tahun 2014, keluhan mengena perlambatan pertumbuhan industri properti telah mengemuka setelah Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa sektor real estate hanya tumbuh 5%, atau sedikit di bawah pertumbuhan ekonomi pada tahun itu yang sebesar 5,02%.

Sektor properti tersebut terus melambat hingga puncaknya terjadi pada 2018, di mana sektor tersebut hanya tumbuh 3,8% atau jauh di bawah pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,2%. Penjualan properti residensial kuartal IV-2018 turun 5,8% secara kuartalan, menurut survei Harga Properti Nasional oleh Bank Indonesia (B).

Sektor tersebut mulai bergeliat tahun lalu setelah berbagai insentif dikeluarkan seperti kemudahan perizinan rumah subsidi, relaksasi aset terhadap pinjaman (loan to value/LTV), hingga subsidi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk masyarakat bawah. Sektor properti pada 2019 tercatat tumbuh 5,7% atau di atas pertumbuhan ekonomi (5,02%).

Pelaku usaha properti pun berharap kondisi tersebut bakal berlanjut tahun ini, terutama setelah Bank Indonesia (BI) memangkas suku bunga acuan dari level tertingginya (6%) menjadi 5%. Tahun 2020 diharapkan menjadi lompatan bagi industri properti, karena BI 7 Day Reverse Repo Rate berada di angka 4%, yang diharapkan memperingan bunga KPR bagi masyarakat.

Namun apa lacur, krisis pandemi mengaburkan semuanya. Data Indonesia Property Watch (IPW) menyebutkan industri properti telah anjlok 60% sampai dengan kuartal pertama 2020, dibandingkan dengan 2019 yang masih tumbuh 10,9% secara tahunan.

Pelemahan bisnis properti tersebut semakin terasa ketika memasuki kuartal II/2020. “Tahun ini merupakan penurunan terendah sektor properti dalam 5 tahun terakhir,” ujar Ali Tranghanda, CEO IPW, dalam pernyataan resminya kepada pers pada 4 Mei 2020.

Untuk mencegah perlambatan tersebut, pemerintah harus bergerak cepat dengan memprioritaskan pemulihan sektor properti, karena sektor ini dikenal memiliki dampak berantai yang sangat luas terhadap sektor usaha lainnya.

Per 2019, kontribusi sektor real estate terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) secara langsung memang hanya sebesar 3,2%. Angka ini masih jauh jika dibandingkan dengan sektor manufaktur (yang menyumbang 19,5% dari PDB), atau pertanian (13,6% dari PDB).

Namun jangan keliru, sektor properti tersebut memiliki dampak berantai (multiplier effect) yang besar terhadap sektor-sektor lainnya dalam perekonomian, lewat peran forward linkage dan backward linkage.

Forward linkage berarti peran yang berorentasi ke depan, di mana properti bisa mengundang investasi baru di perekonomian Indonesia. Sementara itu, backward linkage merupakan kontribusi sektor properti terhadap pergerakan industri yang lain.

Data Kementerian Perindustrian menyebutkan ada lebih dari 175 produk industri yang terkait dengan sektor properti misalnya industri besi dan baja, aluminium, pipa, semen, batu bata, genteng, kaca, keramik, cat, furnitur, kayu, peralatan rumah tangga, hingga alat kelistrikan.

Sektor konstruksi, yang tidak bisa dipisahkan dari sektor properti, juga merupakan industri yang padat karya. Oleh karena itu, pertumbuhan sektor properti secara tidak langsung mendorong produktivitas nasional, dengan mengurangi angka pengangguran dan angka kemiskinan.

Terakhir, perbankan ikut menikmati pertumbuhan sektor properti melalui kredit konstruksi kepada kontraktor, kredit investasi pengembang, maupun kredit konsumtif kepada pelanggan lewat penyaluran KPR dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA).

Namun tatkala sektor riil dan properti tertekan seperti sekarang, penyelamatan justru berasal dari sektor keuangan dalam kaitannya stimulus dan insentif yang diberikan pemerintah. Saat ini, kendala terbesar sektor properti memang terletak pada permintaan, dan bukannya suplai.

Upaya mendorong demand properti untuk mengerem dampak pandemi terhadap perekonomian dilakukan oleh banyak negara. Misalnya, Malaysia memperkenalkan lagi Kampanye Pemilikan Rumah (Home Ownership Campaign/HOC).

Lewat program PENJANA, mereka membebaskan kewajiban materai untuk pembelian properti hingga 31 Mei 2021 dan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pembelian rumah pertama hingga ketiga yang dilakukan dari tanggal sekarang sampai dengan 31 Desember 2021.

Di Indonesia, pemerintah menggelontorkan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang juga menyasar sektor perumahan, melalui penempatan dana negara senilai Rp 5 triliun di PT Bank Tabungan Negara Tbk. Sejauh mana pelaksanaannya?

Sebagai satu-satunya bank yang memiliki bisnis inti KPR, posisi Bank BTN pun menjadi krusial jika bicara mengenai pemulihan sektor properti. Sebagaimana diketahui, kredit bank adalah satu dari sedikit instrumen untuk mendongkrak daya beli masyarakat.

Oleh karena itu, wajar jika pemerintah fokus menyalurkan stimulus sektor perumahan di era pandemi melalui BTN, salah satunya lewat program KPR Subsidi Selisih Bunga (SSB) dan Subsidi Selisih Margin (SSM), di mana BTN mendapatkan kuota hingga 83%.

Stimulus untuk mendongkrak sektor properti itu muncul lewat Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) 65/PMK.05/2020 dan 85/PMK.05/2020. Mereka yang mengajukan KPR bisa menikmati keringanan tersebut, dan pada akhirnya membantu menggairahkan industri.

Tidak berhenti di situ, muncul Permenkeu 70/PMK.05/2020 tentang titipan dana APBN Rp 5 triliun untuk diputar BTN ke sektor riil. Kementerian Keuangan mensyaratkan dana tersebut harus berujung pada penyaluran kredit sebesar Rp 15 triliun pada September ini.

Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, BTN memakai suntikan likuiditas itu untuk menyalurkan KPR, kredit konstruksi, dll. Hingga 25 September 2020, BTN menyalurkan kredit PEN Rp 16,35 triliun, atau melampaui target awal Rp 15 triliun.
Mayoritas menyasar sektor perumahan di 33 provinsi Indonesia. Debitur KPR subsidi menjadi penerima utama dengan jumlah 37.607 orang dan total plafon kredit Rp 5,3 triliun. KPR non-subsidi menyusul dengan nilai kredit Rp 3,1 triliun untuk 12.216 debitur.

 

Jika dibedah lagi, sektor rumah tangga menjadi penerima utama dengan total nilai kredit Rp 7,4 triliun, diikuti sektor konstruksi (Rp 6,1 triliun). Artinya, mayoritas dana negara di program PEN itu memang benar-benar menyasar mereka yang berada di sektor properti.

Tidak heran, pemerintah kembali menempatkan dana PEN ke BTN tahap kedua, senilai Rp 5 triliun. Artinya, perseron harus menggulirkannya agar bernilai ekonomi Rp 30 triliun. Ini bukanlah tantangan berat bagi perseroan yang rata-rata penyaluran kredit per bulannya mencapai Rp 193,5 triliun atau rata-rata Rp 32,2 triliun per bulan.

Perseroan terus memupuk pencadangan, likuiditas, sambil memacu bisnis dengan asas kehati-hatian di masa pandemi. Dengan strategi tersebut, bisnis Bank BTN secara keseluruhan diyakini masih terus bertumbuh dan mencetak laba hingga penghujung tahun 2020 nanti.

Dampak negatif pandemi terhadap debitur pun dinilai kian surut, sebagaimana terlihat dari kenaikan penyaluran KPR subsidi, dan perbaikan rasio kredit bermasalah (Non-Performing Loan/NPL) net dari 2,42% per Juni 2019 menjadi 2,4% pada Juni 2020.

Penempatan dana PEN pada Bank BTN tahun ini bakal memacu pembangunan jumlah unit rumah, dan jumlah masyarakat yang menikmati rumah layak. Hingga Desember 2020, perseroan membidik 83.221 rumah baru (subsidi maupun non subsidi), bagi 332.884 orang.

Hanya saja, BTN dalam hal ini tidak bisa bergerak sendirian untuk memutar nilai ekonomi sektor properti. Selama ini, penyelesaian proyek properti terkendala oleh ketidaktersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) seperti listrik dan air, serta jalan dan saluran.

Ini perlu mendapat perhatian serius Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, karena aktivitas bekerja di rumah (working from home/WFH) berujung pada lambatnya proses perizinan. Akan percuma perbankan memacu permintaan properti lewat KPR, jika pada akhirnya proses pembangunan fisik terhambat, terutama di tengah pandemi.

 

(Bagus)

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close