BIMATA.ID, JAKARTA– Pemerintah menargetkan bisa membangun 4 juta Sambungan Rumah (SR) jaringan gas (jargas) hingga tahun 2024. Tapi, pemerintah mengakui pembiayaan yang berasal dari APBN dan juga penugasan BUMN tidak akan cukup untuk mengejar target tersebut.
Oleh Karna itu, pemerintah membuka pintu untuk mengundang badan usaha daerah maupun swasta yang berskala lokal, nasional maupun swasta asing, untuk ikut membangun jargas dengan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Targetnya, skema KPBU dalam pembangunan jargas ini bisa terlaksana pada tahun 2022.
Direktur Perencanaan dan Pembangunan Infrastruktur Migas Kementerian ESDM Alimuddin Baso menyampaikan, untuk dapat menerapkan skema KPBU, pihaknya sudah mulai melakukan studi pendahuluan pada tahun ini. Studi pendahuluan tahun ini digelar di 9 kabupaten/kota, yakni Kota Medan, Kota Palembang Kota Bandar Lampung, Kota Mojokerto, Kota Pasuruan, Kota Jombang, Kabupaten Cirebon, Kota Batam dan Kota Depok.
“Jadwal kita sampai dengan Desember 2020. Masih ada 2 Kota untuk konsultasi publik pada bulan ini yaitu Kota Batam dan Kota Depok,” ujar Alimudin.
Merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015, disebutkan bahwa KPBU harus disertai dengan Studi Pendahuluan, sebagai kajian awal untuk memberikan gambaran mengenai perlunya penyediaan suatu infrastruktur serta manfaatnya apabila dikerjasamakan dengan badan usaha pelaksana melalui skema KPBU.
Dengan begitu, akan tergambar aspek permintaan (demand), besaran dan pembagian investasi, serta aspek keekonomian dan tata ruang dalam pembangunan jargas.
“Kenapa harus studi pendahuluan? supaya nanti di awal sudah terinformasikan, bagaimana aspek teknis, aspek hukum, investasi dan demand-nya. Kalau dirasa ekonomis, mana saja yang ditanggung negara, mana yang swasta,” jelas Alimuddin.
Studi pendahuluan ini juga melibatkan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Targernya, dokumen hasil studi sudah tersusun pada akhir tahun ini sehingga bisa segera dibahas skema KPBU tersebut akan diterapkan di lokasi mana saja.
“Nanti dari studi itu, mana saja yang menjadi prioritas 1, 2 dan 3. Itu kita akan tetapkan. Tentu atas persetujuan dari Kemenkeu dan Bappenas,” sambung Alimuddin.
Yang pasti, studi pendahuluan skema KPBU pada jargas ini akan berlanjut pada tahun 2021. Ada 10 lokasi yang akan disasar oleh pemerintah dalam studi pendahuluan tersebut, dengan anggaran sebesar Rp 8 miliar.
Yaitu Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Semarang, Kota Pekanbaru, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Kota Balikpapan dan Kota Jambi.
Skema KPBU dalam jargas ini mirip dengan KPBU yang diterapkan dalam Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) maupun jalan tol. Setelah ada hasil studi serta mendapatkan persetujuan dari Kemenkeu dan Bappenas, pemerintah pun baru akan mengundang badan usaha untuk melakukan kerjasama.
“Kemenkeu nantinya akan melakukan bidding, bersama dengan KESDM dan Bappenas. Bisa saja terjadi di badan usaha lokal maupun internasional (ikut dalam skema KPBU),” sebut Alimuddin.
Meski tak membeberkan secara detail, tapi Alimuddin menyebut ada beberapa badan usaha yang sudah menyatakan minatnya untuk ikut membangun Jargas. Lokasi yang disasar antara lain di kawasan Jakarta, wilayah Jababeka dan juga Palembang.
“Diskusi terakhir ada beberapa pihak (yang tertarik ikut membangun jargas), tapi masih ditataran rencana. Nanti kami lihat dari sisi tata kelolanya. Kami senang kalau banyak yang berpartisipasi,” ungkap Alimuddin.
Saat ini mayoritas pembangunan jargas masih memakai dana APBN. Adapun, total jargas yang telah dibangun sejak 2009 hingga 2019 mencapai 400.269 SR. Pada tahun 2020, Pemerintah awalnya menargetkan pembangunan jargas sebanyak 266.070 SR. Namun lantaran sebagian dananya dialihkan untuk penanganan pandemi Covid-19, sehingga jargas yang akan dibangun hanya 127.864 SR di 23 kabupaten/kota dengan dana sekitar Rp 1,4 triliun.
Berdasarkan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, pemerintah menargetkan 4 juta SR pada 2024. Diperkirakan kebutuhan pendanaan pembangunan jargas untuk 4 juta SR tersebut sebesar Rp 38,4 triliun, dimana pembiayaan melalui APBN sebesar Rp 4,1 triliun, penugasan kepada BUMN Rp 6,9 triliun dan KPBU Rp 27,4 triliun.
Sambungan jargas juga ditargetkan menjadi diversifikasi energi, sehingga masyarakat bisa beralih dari penggunaan LPG. Dengan begitu, subsidi dan impor LPG bisa dihemat. Pasalnya, 75% LPG berasal dari impor, Pada tahun 2019, total subsidi yang harus ditanggung Pemerintah, termasuk LPG 3 kg, mencapai lebih dari Rp 42 triliun.
Melalui 4 juta SR jargas pada 2024, pemerintah menargetkan penghematan subsidi LPG sebesar Rp 297,6 miliar per tahun serta mengurangi impor LPG sebesar 603,720 ribu ton per tahun.
Komite Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Jugi Prajogio mengatakan, badan usaha akan tertarik untuk ikut membangun jargas jika keekonomian bisnis terpenuhi. Jugi meyakinkan, pihaknya menetapkan harga jargas yang ekonomis dan lebih hemat dibandingkan dengan penggunaan LPG.
Dia memberikan gambaran harga jargas untuk golongan rumah tangga 1 atau pelanggan kecil yang ditetapkan saat ini sebesar Rp 4.250 per m3. Sedangkan harga pasar LPG 3 kg mencapai Rp 6.000-Rp 6.500 per m³.
Skema KPBU sebaiknya dipacu pada pembangunan jargas untuk golongan rumah tangga 2 sehingga bisa lebih ekonomis.
“Kalau badan usaha dipacu bangun jargas, maka fokuskan ke jargas (golongan) rumah tangga 2. Ini merupakan roadmap BPH untuk memacu jargas rumah tangga 2 dalam waktu dekat,” pungkas Jugi
(Bgs)