Bimata

Nuklir Jadi Alternatif Energi Bersih?

BIMATA.ID, JAKARTA- Energi nuklir masih menjadi opsi terakhir di dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN). Namun beberapa pihak terus mendorong penggunaan energi nuklir untuk Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Salah satu dorongan datang dari Himpunan Masyarakat Nuklir Indonesia (HIMNI).

Ketua Umum HIMNI Susilo Widodo mengatakan pihkanya akan terus berupaya agar nuklir tidak terus menerus menjadi opsi terakhir. Dia pun menyampaikan sejumlah saran kepada anggota DPR RI agar pengembangan nuklir dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang kini tengah disusun DPR bersama pemerintah.

Dia pun mendukung sejumlah pasal yang memberikan kepastian untuk terwujudnya nuklir di Indonesia. “HIMNI mendukung pasal-pasal yang memberi kepastian untuk nuklir di Indonesia yang secara umum telah terakomodasi. Kami berjuang agar nuklir tidak menjadi opsi terakhir melulu,” paparnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama dengan Komisi VII DPR RI secara virtual akhir pekan kemarin.

HIMNI meminta agar RUU EBT ini kondusif bagi semua jenis energi, termasuk nuklir yang masuk dalam pembahasan RUU EBT. Adanya UU EBT ini nantinya akan menjadi penajaman yang menyatakan nuklir merupakan bagian dari EBT.

Pemerintah tengah mendorong bauran energi sebesar 23% pada 2025 mendatang. Menurutnya dalam mengejar target bauran energi tersebut jika tanpa melibatkan nuklir, maka itu akan sulit untuk dicapai.

“UU ini sebagai penajaman yang menyatakan bagian dari EBT. Bauran 23% sulit tercapai tanpa nuklir,” tegasnya.

Diperlukan badan khusus pengelola nuklir untuk menjalankan tugas dan fungsi yang tidak bisa dijalankan oleh Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN). Pihaknya mengusulkan dengan nama Dewan Tenaga Nuklir Nasional, sejajar degan Dewan Energi Nasional (DEN), namun ini khusus nuklir.

“Mari kita kembangkan EBT secara serentak agar target bauran EBT pada 2025 bisa tercapai dengan melalui gotong royong seluruh potensi EBT. HIMNI siap apabila diminta untuk pertimbangan-pertimbangan selanjutnya,” ungkapnya.

Desakan lain disampaikan oleh President Women in Nuclear Indonesia Tri Murni S. Soentono. Menurutnya untuk bertransisi ke energi bersih dibutuhkan kapasitas sumber energi yang besar dan penggunaan teknologi yang inovatif, aman, ekonomis, andal, dan berkelanjutan.

Menurutnya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) bisa menjawab kebutuhan tersebut.”Energi nuklir tidak melepaskan CO2. Kita butuh energi yang tidak lepaskan CO2, dengan daya besar yang sama dengan daya PLTU dengan tujuan menjaga kelanjutan pasokan listrik industri,” paparnya.

Keberadaan PLTN akan bersinergi dengan energi terbarukan lainnya seperti air, surya, angin, biomassa, dan geothermal dengan masuknya nuklir di dalam RUU EBT.

Pihaknya pun berharap agar RUU EBT ini bisa segera disahkan menjadi UU EBT, sehingga pemerintah dapat mengejar target bauran energi dan berkontribusi pada ratifikasi Perjanjian Paris.

“Harapan kami agar RUU EBT segera menjadi UU EBT yang efektif, ringkas, jelas, dan lugas dengan birokrasi yang sederhana,” tuturnya.

Untuk mengatasi limbah dari nuklir, dia mengusulkan agar memanfaatkan bekas-bekas tambang bawah tanah. Dengan demikian, tambang yang tidak produktif itu tidak perlu ditutup, namun bisa dimanfaatkan untuk limbah ini.

“Limbah diusulkan di tambang yang ada di bawah tanah itu jalannya lebar. Saya usulkan ke DPR,” tuturnya.

Pihaknya menyebut pada tahun 2007 Internasional Atomatic Energy Agency (IAEA) mengeluarkan panduan untuk negara anggota yang pertama kali akan membangun PLTN. Panduan ini bernama Nuclear Energy Program Implementing Organization (NEPIO).

NEPIO cocok untuk dijadikan panduan Dewan Energi Nasional (DEN) dalam mengimplementasikan PLTN pertama di Indonesia. Oleh karena itu, bila nuklir ini dimasukkan ke dalam RUU EBT, maka langkah-langkah strategis panduan NEPIO ini otomatis bisa dijalankan DEN. “Kalau bisa, RUU EBT dipercepat,” usulnya.

Exit mobile version