Menteri ESDM: Transisi Energi Perlu Kerja Sama Dengan Luar Negri
BIMATA.ID, JAKARTA- Menteri ESDM Arifin Tasrif menegaskan, pentingnya peningkatan kerja sama Internasional untuk mendukung transisi pengembangan energi, menuju energi baru terbarukan atau EBT.
Kerja sama internasional dapat mendukung kemandirian energi Indonesia, sehingga menjadi lebih berkualitas dan mampu bersaing dalam industri energi global.
“Dalam pengembangan energi terbarukan, kita tidak dapat berjalan sendiri mengingat kompleksnya tantangan transisi energi,” ujar Arifin.
Ia menegaskan bahwa produksi energi suatu negara, perlu disesuaikan dengan kebutuhan atau permintaan, namun tak menutup peluang-peluang baru, untuk menciptakan sumber energi lain dari yang sudah ada.
Pandemi covid-19 telah ikut memicu penurunan permintaan energi, sekaligus mengurangi laju transisi energi bersih dan energi berkelanjutan.
“Indonesia memiliki misi untuk beralih dari energi konvensional ke energi terbarukan. Untuk itu, Indonesia telah menetapkan target pengembangan energi terbarukan dan konservasi energi, yang diamanatkan dalam Kebijakan Energi Nasional dan Nationally Determined Contribution yang diserahkan pada UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change),” papar Arifin.
Untuk mencapai target-target dimaksud, ia mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengimplementasikan aturan dan rencana aksi di berbagai sub-sektor. Didukung pula oleh kegiatan pengembangan kapasitas dan penelitian-penelitian.
Mantan Dirut Pupuk Indonesia itu menyatakan, Indonesia juga telah berupaya menerapkan metode yang lebih cerdas dalam bisnis energi. Sehingga industri energi nasional ia klaim, siap bersaing dalam pasar global industri 4.0.
Saat ini, Indonesia tengah melakukan peningkatan pemanfaatan energi terbarukan. Antara lain pemanfaatan EBT untuk jaringan ketenagalistrikan, menerapkan sistem manajemen energi untuk industri dan bangunan, serta mengembangkan proyek green fuel berbasis CPO yang ditargetkan siap berproduksi pada 2023.
Ia menambahkan bahwa Indonesia juga tengah membangun pembangkit listrik tenaga surya terapung pertama di Cirata, di atas lokasi reservoir pembangkit listrik tenaga air yang ada.
“Kombinasi floating solar PV dan hydro bertujuan untuk mitigasi intermittent solar PV sekaligus memanfaatkan luas permukaan reservoir dari PLTA Cirata. Sehingga tidak memerlukan pembebasan lahan,” jelasnya.
Untuk mendukung pembangunan rendah karbon, ia mengatakan bahwa pemerintah juga telah menerapkan berbagai program efisiensi energi, termasuk mandatory energy management dan Minimum Energy Performance Standards. Serta melakukan adopsi standar nasional sistem manajemen energi, yang secara bertahap akan menjadi standar nasional bagi industri.
Kementerian ESDM juga telah menegaskan bahwa Indonesia harus beralih ke EBT, karena cadangan sumber energi fosil kian menipis, namun permintaannya masih meningkat.
Arifin mengatakan, minyak bumi di Tanah Air akan habis dalam sembilan tahun ke depan, bila Indonesia tak kunjung menemukan cadangan minyak yang baru. Untuk energi baru terbarukan, pemerintah telah mendata, potensinya setara 400 Gigawatt (GW), bila dikonversikan menjadi listrik. Jumlah tersebut, ESDM nilai, setara 6,5 kali lipat kapasitas pembangkitan saat ini. Sementara jumlah EBT yang telah dimanfaatkan, baru sekitar 10 GW atau 2,5% dari energi yang tersedia.
Secara rinci, Kementerian ESDM mengumumkan, potensi EBT di Indonesia terdiri dari energi surya 207,8 GW, energi air 75 GW, angin 60,6 GW, bioenergy 32,6 GW, panas bumi 23,9 GW, dan energi gelombang samudera 17,9 GW.
(Bagus)