Bimata

Krisis Ekonomi Global Tak Membuat Harga Properti Indonesia Terjun Bebas

BIMATA.ID, JAKARTA- Krisis ekonomi global boleh saja menghantam sektor properti demikian keras, sehingga tingkat penjualan anjlok ke titik terendah. Namun tetap saja, kondisi tersebut tak membuat harga properti turun. Kalau pun terkoreksi, hanya terjadi pada matriks pertumbuhan harga, menjadi sekitar 10-12 persen dari sebelumnya sekitar 20-30 persen per tahun.

Menurut Director Research and Consultancy Savills Indonesia Anton Sitorus, dalam kamus sektor properti di Indonesia tak mengenal kata harga turun.

” Harga turun itu aib. Bahkan, pada saat krisis multidimensi Tahun 1998, belum pernah terjadi penurunan. Harga turun itu resistensinya tinggi,” ujar Anton,

CEO Leads Property Indonesia Hendra Hartono mengutarakan hal senada. Menurutnya sepanjang sejarah properti Indonesia modern kurun 1970-an saat awal Orde Baru berkuasa hingga saat ini, harga properti terutama tanah dan rumah tidak pernah turun. Kecuali untuk properti di pasar seken (sedondary market) di area residensial premium sekitar 10-20 persen.

“Harga primer tidak turun, bahkan dalam konteks published rate. Karena pengembang menyiasatinya dengan metoda pembayaran dengan tenor angsuran lebih panjang untuk konsumen,” papar Hendra.

Harga properti yang terus melesat dipengaruhi harga material bangunan seperti semen, besi, baja, dan keramik. Material bangunan menjadi mahal karena pengaruh bahan bakar seperti minyak dan gas yang juga kerap fluktuatif.  Kata Hendra, faktor eksternal itu yang mendorong harga properti primer tidak akan pernah turun. Sementara jika bicara tanah, akan semakin membuat akselerasi kenaikan harga properti makin cepat. Terlebih jika tanah tersebut berada di lokasi yang dilintasi pengembangan infrastruktur. Tidak ada lagi “Senin Harga Naik” Anjloknya penjualan properti pada Tahun 2020 ini membuat para pengembang sadar untuk tidak lagi menaikkan harga seenaknya.

“Tidak mungkin lagi ada jargon ‘Setiap Senin Harga Naik’ hingga puluhan bahkan ratusan persen,” cetus Hendra.

Para pengembang sekarang fokus dalam beradaptasi dan melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi aktual pasar agar dapat terus relevan demi mempertahankan ongkos produksi dengan profit margin moderat.  Jika tiga tahun lalu, mereka fokus pada properti dengan harga di atas Rp 1,5 miliar dengan keuntungan tinggi, kini harus realistis bermain di segmen di bawah Rp 1 miliar.

“Sekarang dalam kondisi belum naik, pengembang mulai melihat lagi, apalagi dalam kondisi pandemi, yang dibutuhkan pasar adalah kelas menengah-menengah,” imbuh Anton.

Realita ini membuat harga per meter persegi tidak akan mengalami perubahan. Untuk menyiasati agar tetap memperoleh profit margin, pengembang merancang ukuran fisik properti lebih kecil. Selain itu, pengembang juga menyiasati pembiayaan dengan menggandeng perbankan dan memberlakukan bunga KPR/KPA rendah sekitar 4 persen dengan tenor maksimal 30 tahun, uang muka ringan, dan kelengkapan furnitur (fully furnished product).

Penyesuaian-penyesuaian inilah yang disebut dengan kondisi buyer’s market. Penyesuaian lainnya yang dilakukan pengembang adalah menerapkan diskon harga riil yang bukan lagi basa-basi. Tujuannya adalah agar produk mereka dapat terjual maksimal.

“Jadi, tren ke depan adalah akan makin banyak pengembang yang melansir produk dengan harga terjangkau karena kebutuhan terbesar berasal dari kalangan milenial dan menengah,” papar Anton.

(Bagus)

Exit mobile version