BIMATA.ID, JAKARTA- Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) mengaku siap mengawal pengembangan nuklir di Indonesia baik dari sisi pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) maupun dari sisi mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Bapeten akan melakukan pengawalan dengan mengedepankan keselamatan dan keamanan.
Kepala Bapeten Jazi Eko Istiyanto mengatakan arah kebijakan pengembangan tenaga nuklir ada di tangan Presiden. Meski demikian, Bapeten siap melakukan pengawalan agar arah kebijakan mengenai pengembangan nuklir di Indonesia bisa maksimal berkontribusi terhadap pembangunan, sejalan dengan perintah Presiden.
“Kalau tenaga nuklir itu wewenangnya ada di Presiden. Gubernur Kaltim dan Gubernur Kalbar saja tidak punya wewenang meski mereka semangat sekali membuat PLTN. Tapi kalau dari sisi Bapeten, kami monggo saja kalau memang mau dikembangkan (tenaga nuklir). Kita mengamankan,” kata Jazi, dalam sebuah konferensi pers virtual, Senin, 26 Oktober 2020.
Meski sampai saat ini PLTN belum resmi ada di Indonesia, namun Jazi mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak terkait yang memberikan pendanaan untuk Bapeten, baik untuk pengembangan kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di lingkungan Bapeten maupun konsep-konsep guna penunjang riset.
“Walaupun PLTN belum ada tapi kita tetap pelajari karena kita tidak tahu kalau sewaktu-waktu tiba-tiba (PLTN) ada (di Indonesia) kita harus siap,” tuturnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan penggunaan nuklir harus dipahami tidak hanya semata-mata bicara soal energi atau senjata. Pasalnya, pengembangan nuklir juga berkorelasi positif terhadap pertumbuhan atau pembangunan ekonomi. Dari sisi pertanian, misalnya, penggunaan teknologi nuklir untuk bibit beras bisa menekan munculnya hama atau bakteri di beras tersebut.
“Dari sisi perikanan, kalau diradiasi juga baik karena lebih sehat untuk dimakan. Nilai ekonominya ada di situ. Kalau insentif yang Bapeten berikan sifatnya intangible. Seperti kemudahan perizinan. Kalau kita menghambat izin sama saja menghambat industri. Karenanya kalau perizinan ada di meja saya, tidak sampai lebih dari 24 jam sudah saya tandatangani,” ucapnya.
Terlepas dari hal itu, Jazi tidak menampik masih banyak tantangan yang menghadang terkait pengembangan nuklir di Indonesia. Tantangan itu di antaranya pertama, persepsi masyarakat bahwa penggunaan nuklir selalu dikaitkan dengan senjata nuklir. Kedua, tidak ada detektor nuklir buatan dalam negeri.
“Nuklir berperan besar dalam pembangunan. Jadi, kita tidak boleh hanya mereduksi nuklir itu sebagai PLTN tapi juga untuk banyak hal. Untuk rumah sakit, banyak sekali peralatan menggunakan radiasi nuklir dan juga di industri banyak sekali, di pertanian, peternakan, atau perikanan. Kita mengawalnya juga dari sisi keamanan dan keselamatan,” urainya.
Staf Ahli Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Hendri Firman Windarto menekankan pentingnya peran EBT terutama pembangkit nuklir dalam mitigasi perubahan iklim sehingga layak masuk dalam RUU EBT.
Ia mengingatkan jika Indonesia tidak serius dalam mengurangi emisi karbon maka sebagian besar wilayah akan tenggelam dalam kurun waktu beberapa dekade mendatang. Menurut dia, salah satu target penting dalam pemanfaatan sumber energi di Indonesia adalah bagaimana menggantikan batu bara secara bertahap yang menjadi andalan utama energi primer.
Target energi primer yang dibutuhkan akan terus meningkat seiring dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi dalam rangka ketahanan nasional.
“Inilah yang sesungguhnya merupakan target dari transisi energi,” pungkas Hendri.