BIMATA.ID, Jakarta – Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI), Himmatul Aliyah memberikan tanggapan mengenai kebijakan Universitas Indonesia (UI) yang melarang mahasiswa untuk ikut politik praktis.
Himmatul menilai, bahwa kebijakan yang diterapkan kampus UI merupakan aturan karet yang mengekang hak politik mahasiswa. Pengekangan ini juga mengingatkan pada kejadian di masa lalu.
“Di mana kampus dibersihkan dari gerakan politik mahasiswa pasca peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari),” tuturnya, di Jakarta, Rabu (16/9/2020).
Waktu itu, Pemerintah Orde Baru (Orba) membungkam suara mahasiswa melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) atau Badan Koordinasi Kampus (BKK).
Dengan kebijakan tersebut, Pemerintah membubarkan senat mahasiswa dan dewan mahasiswa di kampus-kampus di seluruh Indonesia, sehingga melumpuhkan kegiatan politik mahasiswa.
“Bila mahasiswa dilarang ikut dalam perpolitikan, maka Indonesia akan kehilangan tunas-tunas dan kualitas keberlangsungan perpolitikan di tanah air, mengingat politik sangat penting dalam peran kebijakan negara,” lanjutnya.
Kendati begitu, Srikandi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini sepakat, bahwa mahasiswa tetap tidak boleh membawa kegiatan politik ke dalam lingkungan kampus. Namun, jika kegiatan ini dilakukan di luar kampus, maka tidak menjadi masalah.
“Kalau kegiatan dan aksi politik di lingkungan kampus bisa saja direm, tapi kalau di luar kampus adalah hak asasi mahasiswa sebagai bagian dari rakyat Indonesia, yang dijamin dalam UUD 45 Pasal 28 mengenai kebebasan berserikat dan berkumpul, juga berpendapat,” jelasnya.
Legislator daerah pemilihan (Dapil) Provinsi DKI Jakarta II ini meminta, pihak akademik perguruan tinggi tidak menggunakan status mahasiswa sebagai dalih pelarangan kegiatan politik kaum pelajar. Aturan tersebut merupakan pengekangan dan akan membuat mahasiswa di kemudian hari menjadi antipati terhadap politik.
“Kalau kaum intelektual dasar politik sejak dini hasilnya banyak politisi yang tidak berkualitas pemikiran, sehingga kontribusinya dalam membangun bangsa tidak maksimal,” tegasnya.
Sebelumnya, poin tentang tindak pidana hanya melarang mahasiswa UI terlibat dalam hal minuman keras, narkotika, dan kejahatan seksual. Lalu, pasal yang sempat menjadi kontroversi, yakni larangan berpolitik praktis yang mengganggu tatanan bernegara dan terlibat dalam organisasi yang tidak diizinkan Pimpinan Fakultas atau Universitas diubah menjadi lebih spesifik.
Draf pakta integritas itu kemudian berubah istilah menjadi surat pernyataan. Tidak ada kewajiban bagi mahasiswa untuk tidak menandatangani di atas meterai. Selain mahasiswa, orang tua atau wali juga perlu membumbuhkan tanda tangan dalam dokumen tersebut.
[MBN]