BeritaRegional

KSPSI DIY Bersama DWS-ACH Fokus Pembenahan Nasib 3000 Buruh di Sleman Yang Belum Terpenuhi Hak Normatifnya

BIMATA.ID, SLEMAN- Dewan Pengurus Daerah Konferderasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia DIY (DPD KSPSI DIY) menyatakan saat ini ada 3000 orang buruh di Kabupaten Sleman yang belum terpenuhi hak normatifnya. Hak- hak normatif yang belum terpenuhi meliputi gaji yang masih di bawah Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK), keikutsertaan dalam BPJS Ketenagakerjaan serta belum dipenuhinya standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) oleh beberapa pabrik yang berada di Sleman.

“Tiga hal tersebut yang menjadi permasalahan utama buruh di Sleman saat ini,” kata Wakil Ketua DPD KSPSI DIY, Kirnadi, saat bertemu dengan Calon Bupati Sleman nomor urut 1, Danang Wicaksana Sulistya (DWS) di PP Al Qodir, Tanjung, Wukirsari, Cangkringan, Selasa (29/9/2020).

Menurut Kirnadi, permasalahan yang terjadi sepuluh tahun terakhir tersebut disebabkan oleh lemahnya pengawasan Pemerintah Kabupaten Sleman kepada perusahaan- perusahaan yang beroperasi di wilayahnya.

“Aturan main sudah ada. Permasalahan ada di pengawasan. Kalau pengawasan lemah, maka seperti sepuluh tahun belakangan bakal terus terjadi,” tambah Kirnadi.

Hak normatif pekerja adalah hak – hak pekerja yang lahir sebagai upaya memberi perlindungan terhadap pekerja yang harus dipenuhi oleh pengusaha yang diatur dalam Peraturan Perundang – undangan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang bersifat mengikat pekerja dan pengusaha.

Kirnadi menambahkan, permasalah upah adalah hal yang paling mendasar bagi buruh. Selain soal sejumlah buruh yang masih digaji dibawah UMK, masih ada persolan lain mengenai upah, yakni soal jumlah upah berdasarkan masa kerja buruh. Katanya, dalam Pasal 88 ayat (4) Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa Pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan kebutuh hidup layak dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah minimum terdiri atas upah minimum Kabupaten / Kota dan Provinsi. Upah minimum hanya berlaku untuk pekerja / buruh yang bekerja di perusahaan dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun.

Kebutuhan hidup layak yang dijadikan dasar penetapan upah minimum adalah standar kebutuhan seorang pekerja / buruh lajang untuk dapat hidup secara fisik untuk kebutuhan 1 (satu) bulan. Upah minimum berlaku untuk semua jenis dan skala usaha. Adapun UMK Kabupaten Sleman tahun 2020 sebesar Rp. 1.846.000,00 untuk seorang pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun.

“Selama ini hal tersebut [masa kerja] tidak diperhatikan. Buruh dengan masa kerja diatas lima tahun dan sudah berkeluarga dihargai sama dengan buruh lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun,” katanya.

Kepada Danang Wicaksana Sulistya, Kirnadi dan teman- temannya berharap agar pemerintahan Kabupaten Sleman mendatang benar- benar melakukan pengawasan terhadap pemenuhan hak- hak normatif buruh. Dilain pihak, DWS menyambut baik masukan perwakilan buruh tersebut. Menurutnya, permasalah perburuhan sangat kompleks dan membutuhkan proses panjang untuk menyelesaikannya.

“Permasalahan buruh sangat kompleks. Tapi saya dan Mas Agus (R. Agus Choliq/ ACH) sangat berterimakasih atas masukan tersebut. Kami akan masuk dari hal yang paling dasar, yakni melaksanakan pengawasan sebaik- baiknya. Selain itu, kami berupaya melakukan inovasi untuk meningkatkan kesejahteraan teman- teman buruh yang berada di Sleman,” kata DWS.

DWS menambahkan, terkait permasalahan perburuhan, dirinya bersama ACH sudah menyiapkan beberapa gagasan, antara lain mengenai tempat tinggal dan transportasi dari rumah ke tempat kerja bagi buruh. Jika terpilih menjadi Bupati Sleman pada Pilkada 2020, DWS berencana membangun rumah susun dengan harga terjangkau bagi buruh. Konsep rumah susun dipilih karena pasangan DWS – ACH tidak ingin mengurangi jumlah lahan pertanian di Sleman sesuai dengan visinya untuk menjadikan Kabupaten Sleman sebagai daerah penyangga pangan DIY.

“Yang jelas menggunakan bangunan vertikal. Lantai dasar akan dijadikan tempat usaha, lalu lantai- lantai diatasnya digunakan untuk tempat tinggal para buruh. Dengan cara seperti itu, saya yakin teman- teman buruh bisa memiliki tempat tinggal dengan harga seterjangkau mungkin. Karena untuk sebagian besar biaya pembangunan tersebut dibebankan ke zona komersial di lantai dasar,” ujar DWS.

Sedang mengenai transportasi, pasangan DWS – ACH merencanakan jaringan transportasi umum terpadu yang menghubungkan daerah pendidikan, bisnis, pariwisata, industri dengan harga terjangkau.

“Kalau kita ingin mensejahterakan Sleman, kita harus ingat bahwa ada buruh di dalamnya,” tandas DWS.

FID/Usman

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close