Kebijakan Menaikan Cukai Rokok Hancurkan Petani
BIMATA.ID, JAKARTA- Pemerintah diminta untuk fokus pada kebijakan yang kondusif bagi petani tembakau dan Industri Hasil Tembakau (IHT). Karena kebijakan menaikkan cukai secara serampangan akan mengakibatkan kehancuran bagi petani.
Karena itu Sekjen Gerbang Tani Billy Aries mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan ulang rencana kenaikan cukai rokok. Sebab, saat ini kondisi petani tembakau di Indonesia mengalami tiga tantangan utama. Yakni, menurunnya pendapatan, risiko iklim yang tidak bisa dihindari, dan kurangnya teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas.
“Kurangnya teknologi modern pada perkebunan tembakau yang biasanya berukuran kurang dari dua hektare, berdampak pada sangat rendahnya level produktivitas di Indonesia,” ujar Billy.
Billy mengatakan, petani tembakau sangat membutuhkan dukungan teknis. Kemampuan dan teknologi yang mereka gunakan akan memberdayakan para petani untuk menanam tembakau yang dapat digunakan sebagai sumber energi yang dapat diperbaharui atau untuk mengekstraksi nikotin untuk produk rokok elektrik, alih-alih untuk rokok konvensional.
“Kenaikan cukai berdampak langsung ke petani tembakau. Faktor pemulihan ekonomi akibat Covid-19 perlu menjadi dasar kebijakan cukai. Pemerintah jangan membuat kebijakan cukai yang makin memperparah situasi industri,” tuturnya.
Diperlukan adanya roadmap IHT dan sebelum rampung, pemerintah jangan mengeluarkan kebijakan baru.
“Pembuatan Roadmap IHT juga harus melibatkan semua pemangku kepentingan,” katanya.
Ketua Umum Gerbang Tani Idham Arsyad mengatakan, saat ini Indonesia memproduksi 152.319 ton daun tembakau pada 2017, dan menjadi produsen daun tembakau terbesar ke-6 di dunia setelah Tiongkok, Brasil, India, Amerika Serikat (AS), dan Zimbabwe pada 2019.
Tiongkok memiliki hasil panen tertinggi dengan jumlah 2.392.000 ton pada 2017, sementara AS memiliki tingkat produktivitas tertinggi. Volume produksi tembakau Indonesia dan produktivitasnya merupakan yang paling rendah di antara enam negara produsen tersebut.
“Penggunaan teknologi yang sudah ketinggalan menghambat produktivitas industri perkebunan tembakau hingga berada jauh di bawah negara produsen daun tembakau lainnya,” katanya.
Kebijakan yang tidak terintegrasi antar departemen membuat petani terus berjuang untuk hidup dari tanaman yang membutuhkan pengerjaan yang intensif ini. Sebab, industri rokok di Indonesia adalah kontributor lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan pendapatan pajak yang signifikan.
“Rokok adalah produk tembakau yang paling populer yang dicari oleh 1,1 miliar konsumen di seluruh dunia,” tuturnya.
Saat ini berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah perokok bertambah dari 317 juta pada 2000 menjadi 364 juta orang pada 2015. Kondisi ini mengakibatkan bertambahnya permintaan daun tembakau dari wilayah tanam seperti Indonesia.
Selama ini, produksi tembakau terkonsentrasi di Provinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Jawa Tengah yang menghasilkan 174.600 ton atau 90 persen dari produksi nasional pada 2015. Sisa 10 persen diproduksi di 12 provinsi lainnya. Tiga provinsi utama menyediakan 182.200 hektare area perkebunan tembakau atau 89 persen dari total area tanam pada 2015.
Kebijakan di Indonesia tentang perkebunan tembakau dan industri rokok tidak terkoordinasi dengan baik. Pendapatan cukai dari produk tembakau mencapai Rp 143,66 triliun atau setara dengan USD 10,33 miliar pada 2019 dan merupakan 95,5 persen dari seluruh pendapatan cukai.
“Hal tersebut membuat rokok menjadi sumber pendapatan yang penting bagi negara,” katanya.
Kementerian Perindustrian melaporkan bahwa ada 1,7 juta orang yang bekerja baik di sektor produksi daun tembakau maupun cengkih pada Maret 2019. Petani tembakau menerima dukungan dari pemerintah daerah yang menerima dana melalui pembagian 2 persen dari pendapatan cukai hasil tembakau.
“Pemerintah pusat harus intervensi untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tembakau,” harapanya.