BIMATA.ID, JAKARTA- Sejumlah gerakan petani, buruh, mahasiswa, dan pegiat lingkungan mengikuti aksi Hari Tani Nasional yang digelar di depan gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (24/9). Aksi Hari Tani ini berbarengan dengan peringatan Hari Tani Nasional ke-60.
Perwakilan Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) Benny Wijaya mengatakan, total ada 60 orang akan mengikuti aksi Hari Tani Nasional di depan gedung DPR. Jumlah orang yang mengikuti aksi ini sekaligus simbol peringatan 60 tahun Hari Tani Nasional.
“Kalau di Jakarta itu aksinya di depan DPR. Ada sekitar 60 orang yang mengikuti aksi dan tersebar di 60 kota, kan simbol 60 tahun,” kata Benny.
Benny memastikan, aksi yang digelar tetap menerapkan standar protokol kesehatan. Peserta yang akan hadir juga tak akan lebih dari 60 orang.
Aksi ini rencananya juga akan disiarkan melalui akun Youtube resmi Pembaruan Agraria mengingat pandemi covid-19. Dalam saluran resmi itu akan ditayangkan 60 aksi massa di 60 kabupaten/kota memperingati Hari Tani Nasional.
Tercatat, 60 kabupaten kota itu tersebar di Jawa Timur sebanyak empat kabupaten yang akan menggelar aksi, Jawa Tengah sebanyak enam kabupaten, Jawa Barat empat kabupaten, Bali satu kabupaten, Sumatera Selatan tiga kabupaten, Jambi tiga kabupaten, dan Sumatera Utara enam kabupaten.
Kemudian Sulawesi Utara dua kabupaten, Sulawesi Tenggara dua kabupaten, Sulawesi Tengah empat kabupaten, Sulawesi Selatan lima kabupaten, Banten satu kabupaten, Lampung satu kabupaten, Kalimantan Barat satu kabupaten, Bengkulu satu kabupaten, dan NTT satu kabupaten.
Lebih lanjut Benny mengatakan, peserta aksi akan menyampaikan sejumlah hal yang berkaitan dengan kesejahteraan petani hingga konflik lahan yang kerap terjadi akhir-akhir ini.
Mereka juga akan menyampaikan sejumlah manifesto hasil pertemuan para anggota buruh tani berkaitan dengan keadaan saat ini.
“Nanti kita kan ada manifesto gerakan reforma agraria. Nah itu hasil dari rembug kita kemarin selama tiga hari kemarin akan disampaikan,” katanya.
Salah satu hal yang ada dalam manifesto itu, kata dia, berkaitan dengan mandegnya realisasi reforma agraria yang diwacanakan Presiden Joko Widodo pada periode pertama. Pihaknya juga akan menyampaikan sejumlah letusan konflik agraria yang terus terjadi.
“Bahkan selama pandemi ini kita catat ada 35 konflik agraria dibarengi kekerasan dan kriminalisasi aparat pada petani,” kata dia.
Peserta juga memamerkan kurang lebih 60 boneka seukuran badan manusia di depan pintu utama gedung DPR.
Boneka atau orang-orangan sawah ini berdiri tegak menghadap ke gerbang DPR yang tertutup rapat. Orang-orangan sawah yang baru dipasang pagi tadi merupakan simbol peringatan Hari Tani Nasional demi mengingatkan para wakil rakyat yang duduk nyaman di Senayan.
Orang-orangan sawah ini juga tampak lengkap membawa atribut petani, dari mulai penggunaan topi caping dan rajutan bambu, selendang gendongan yang biasa dipakai para ibu-ibu petani, hingga cangkul yang biasa digunakan untuk menyiangi tanah dan ditanami berbagai produk pertanian.
Sekjen Korsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan, pihaknya sengaja menggunakan boneka orang-orangan sawah di depan gedung DPR sebagai simbolisasi petani yang melakukan aksi pada peringatan Hari Tani Nasional.
“Ini karena hari ini, Hari Tani Nasional tanggal 24 September itu selalu dirayakan setiap tahun sebagai hari tani,” ucap Dewi.
Penggunaan orang-orangan sawah itu, kata Dewi, juga menjadi simbol yang sengaja digunakan sebagai ganti wujud petani yang tak bisa hadir dalam aksi kali ini.
Dewi mafhum lantaran situasi pandemi membuat agenda yang kerap diikuti 5 ribuan lebih petani itu harus dikurangi demi menghindari penularan wabah.
Alih-alih batal menggelar aksi, Dewi memilih memasang orang-orangan sawah yang berbaris rapi di depan gerbang yang dihuni para wakil rakyat itu.
“Tahun lalu kita kan bisa 5 ribu massa petani. Nah tahun ini karena pandemi di Jakarta, kami kemarin nego dengan kepolisian. Dari target 2 ribu enggak bisa, akhirnya disepakati hanya simbolisasi, sekitar 30 orang dan ditambah simbolisasi orang-orangan sawah,” kata Dewi.
Simbolisasi ini, sekaligus mengingatkan para wakil rakyat di DPR dan pemerintah soal konflik lahan dan petani yang banyak menjadi korban.
Apalagi hingga saat ini pemerintah belum menjalankan reforma agraria terutama pengajuan atas tanah bagi para petani di berbagai wilayah.
“Ratusan ribu keluarga petani masih alami konflik agraria dan perampasan tanah, penggusuran, bahkan kriminalisasi dan mengatakan bahwa petani tolak omnibus law,” tuturnya.