Berita

Kisah Perjuangan Pelajar Online Selama Pandemi

BIMATA.ID, JAKARTA- Belajar online terasa mudah untuk sejumlah siswa, namun jadi perjuangan berat bagi siswa lainnya. Selama 5 bulan pandemi corona, banyak kisah perjuangan para siswa yang kesulitan mengikuti sistem belajar online.
Tak hanya terjadi di daerah pelosok, siswa di Ibu Kota juga masih banyak yang kerepotan belajar online. Masalahnya macam-macam, seperti keterbatasan dana untuk membeli kuota, kesulitan sinyal, hingga tak punya ponsel.
  • Manjat Pohon
Di lereng pegunungan Nagori Siporkas, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, demi mendapatkan sinyal internet yang bagus, para siswa harus bersusah payah memanjat pohon dan bukit agar tak ketinggalan mengikuti materi pembelajaran.
Kepala Desa Nagori Siporkas, Hendra Putra, mengatakan, ada tiga dusun yang mengalami kendala tersebut, yakni Dusun Bah Pasunsang, Butu Ganjang, dan Borno.
“Di tempat itu jangankan internet, menelepon saja susah,” ujar Hendra.
Hendra mengatakan, letak geografis wilayah yang dikelilingi perbukitan menyebabkan sinyal sulit masuk ke tiga dusun itu. Dia pun sudah melaporkan kondisi ini ke kecamatan namun hingga kini belum ada solusi.
“Karena kendala ini, para siswa ini belajar naik ke atas pohon agar mendapatkan sinyal, semenjak belajar daring,” ujarnya.
  • Naik Bukit
Kondisi serupa juga dialami para siswa dan mahasiswa di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Mereka harus naik Bukit Tado Puang Bayo, di Lembang Sesesalu, Kecamatan Masanda, untuk mencari jaringan internet demi bisa belajar online. Kecamatan tersebut berjarak 35 kilometer dari Ibu Kota Tana Toraja, Makale.
Mereka berasal dari 17 kampus dan SMA, di antaranya adalah UKI Toraja, UKI Paulus Makassar, Unhas, Unifa, Bosowa, STIMIK Handayani, STIMIK Akba, STIMIK Dipanegara Makassar, UNM, Unismu, YPUP, STIMIK LPI, SMANSA, SMA 5 Tana Toraja, SMAKER, dan STM Burake.
Hendrik Dualangi, Mahasiswa YPUP Makassar, masih ada sejumlah desa di Kecamatan Masanda yang tak ada jaringan internet sama sekali. “Kami berharap pemerintah dapat memperhatikan kami yang juga terdampak pandemi COVID-19,” ujar Mardia, salah satu mahasiswa dari UKI Toraja.
  • Jalan 8 Km
Pelajar di Jorong Sungai Guntuan, Nagari Pasiah Laweh, Kecamatan Palupun, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, juga mengalami hal yang sama. Setiap hari mereka harus ke area yang disebut sebagai Kelok Handphone. Sebab hanya di titik itulah mereka bisa mendapat sinyal cukup bagus.
“Setidaknya setiap hari ada sampai 50 anak yang ke Kelok Hp guna mendapatkan sinyal untuk pembelajaran dalam jaringan. Biasanya sejak pukul 8.00 sampai 11.00 WIB atau sampai tugas mereka selesai,” ungkap Mahyudanil Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat kepada wartawan.
Jarak yang ditempuh para siswa itu beragam, ada yang dua kilometer dari rumah, ada pula yang berjarak sampai lima kilometer. Sebagian dari mereka berjalan kaki atau diantar oleh kedua orang tua menggunakan sepeda motor.
Ketika paket data mereka habis, mereka harus berjalan lagi sejauh delapan sampai sembilan kilometer ke Simpang Palimbatan menuju ruas Jalan Bukittingi-Medan dan dilanjutkan ke Pasia Laweh. Jaraknya hingga belasan kilometer.
  • Pinjam HP Tetangga
Selama penerapan sistem belajar online, setiap pagi Sri Ageng Wiliantoro (Wili) dan Sri Ageng Widiantoro (Widi), harus pergi ke rumah tetangga untuk pinjam HP.
Wili dan Widi, begitu biasa mereka dipanggil, saat ini tinggal bersama dengan ibu mereka, Suparmi (47) di daerah Duri Kepa, Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Suparmi sudah berpisah dengan sang suami karena kerap menjadi korban KDRT dan juga jarang diberi nafkah. Sejak berpisah 2016 lalu, dia menjadi tulang punggung keluarga dengan berjualan gorengan di warung gerobak sederhana dekat rumahnya.
Namun semenjak pandemi ini, usaha Suparmi ikut gulung tikar. Ditambah lagi, anak sulungnya, Yuni (21), sudah dirumahkan dari pekerjaan lamanya sebagai buruh pabrik sejak awal pandemi. Suparmi juga harus membiayai anak keduanya, Dwi, yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan harus menggunakan gawai untuk mendapat materi dan soal-soal dari gurunya.
Handphone satu-satunya yang dimiliki Suparmi digunakan Dwi untuk belajar secara daring. Sedangkan Wili dan Widi, tak memiliki pilihan lain, selain mengandalkan milik tetangga yang berbaik hati meminjamkan gawainya kepada mereka.
  • Utang untuk Beli Kuota
Seorang anak bernama Alfiatus Sholehah, siswi kelas VB SDN Pademawu Barat, Kabupaten Pamekasan, Jawa Timur, mengirim surat ke Mendikbud Nadiem Makarim.
Alfiatus mengatakan kedua orang tuanya adalah buruh tani. Sementara ia harus belajar menggunakan telepon pintar.
“Sedangkan saya tidak punya. Saya juga merasa kasihan karena Ibu saya harus cari utangan untuk membeli paket internet agar saya bisa belajar di rumah,” ujar Alfiatus.
Alfiatus bercerita ia ingin segera masuk ke sekolah dengan normal. Surat itu ditulis saat Ramadhan 2020 masih berjalan. Ia mengatakan, merindukan aktivitas bulan ramadhan di sekolah.
“Biasanya di sekolah diadakan kegiatan Pondok Ramadan. Tapi karena corona semua itu tidak ada lagi,” ujar Alfiatus.
5 Kisah tersebut hanya sekelumit dari kisah-kisah perjuangan siswa di seluruh Indonesia selama sistem belajar online diterapkan. Mereka berharap pandemi segera usai agar bisa segera sekolah kembali dengan normal.
Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close