BIMATA.ID, Jakarta – Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Republik Indonesia (RI) menyebutkan masih terdapat kekosongan hukum atau kurangnya regulasi terhadap penindakan praktik ujaran kebencian dan politisasi SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) di pelaksanaan pesta demokrasi, termasuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020.
Kekosongan regulasi itu terjadi lantaran terdapat modus yang dilakukan pihak tertentu di luar proses kampanye. Modus ini dilakukan oleh pihak yang tidak terkait dengan peserta Pemilihan Umum (Pemilu). Undang – Undang (UU) Pemilu sendiri pun belum mampu menjangkau praktik dengan modus tersebut.
“Masih terdapat kekosongan hukum terkait penindakan terhadap ujaran kebencian dan politisasi SARA dalam pelaksanaan Pilkada. Karena modus yang dilakukan di luar kampanye dan oleh pihak yang tidak terkait dengan peserta Pemilu belum mampu dijangkau UU pemilihan,” ucap Anggota Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo dalam diskusi virtual, Kamis (13/8/2020).
Dia menguraikan, diperlukan redesain atau rancangan ulang regulasi pemilihan yang lebih mampu mengantisipasi, serta mencegah praktik politisasi SARA secara efektif. Berkenaan dengan ini, sanksi terhadap pelanggarnya mesti dipertegas dan tanggung jawab pelaksanaan kampanye juga harus dikaitkan langsung dengan partai politik (Parpol) pengusung.
“Sanksi pelanggaran juga harus dipertegas dan tanggung jawab pelaksanaan kampanye juga dapat dikaitkan kepada Parpol pengusung,” pungkas Ratna.
[MBN]