BIMATA.ID, JAKRTA- Perusahaan migas dunia telah merespons perubahan mendasar pada tren konsumsi energi. Pertamina menjadikan bentuk bisnis perusahaan migas dunia tersebut sebagai patokan atau benchmark dalam restrukturisasi perusahaan. Langkah ini untuk menangkap potensi bisnis dan kebutuhan energi di masa depan.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan saat ini perusahaan pelat merah tersebut tengah bergerak di beberapa sektor industri migas, dari hulu ke hilir. Termasuk, mengembangkan petrokimia dan electric vehicle. Karena itu, pemerintah dan Pertamina merasa perlu melakukan restrukturisasi pada porotfolio aset yang dimiliki.
“Adanya megatrend global membuat Pertamina melakukan restrukturisasi bisnis. Sebelum itu, kita melakukan benchmark dengan perusahaan-perusahaan migas dunia, bagaimana mereka merespons global megatrend ini,” ujar Nicke dalam diskusi daring Restrukturisasi Babak Baru Pertamina Sebagai Holding Migas, Minggu (26/7).
Nicke menyebutkan, perusahaan migas yang berbasis di Amerika, seperti Chevron, Exxon Mobil, dan ConocoPhillips telah membagi fokusnya ke dalam tiga strategi bisnis. Mengadopsi langkah itu, Pertamina juga menetapkan tiga rencana strategis ke depan.
Tiga strategi bisnis dimaksud adalah bagaimana mengelola current revenue generated atau pendapatan saat ini. Langkah berikutnya, melakukan investasi atau pengembangan ke arah new revenue generated atau sumber pendapatan baru. Terakhir, yang paling penting menurut Nicke, mengembangkan ke arah sumber pendapatan baru masa depan atau future new generated untuk keberlanjutan usaha jangka panjang.
“Kalau kita lihat, ketiga perusahaan itu fokus pada short cycle unconventional. Jadi mereka melakukan realokasi dari belanja modal ke program-program unconventional yang menghasilkan pendapatan jangka pendek. Dan mereka tetap di proyek konvensional yang secara jangka panjang, return-nya masih baik,” papar Nicke.
Dia mengatakan bahwa ketiga perusahaan tersebut memanfaatkan minyak bumi sebagai mesin pendapatan di masa mendatang, lantaran Amerika memiliki cadangan shale gas yang melimpah.
“Itu yang melatarbelakangi perusahan global ini meletakkan strategic planning-nya ke depan,” imbuh Nicke.
Sementara perusahaan migas di Eropa seperti Eni dan Equinor, ia sebut, fokus ke energi baru dan terbarukan atau green energy yang masih dalam koridor sama dengan portofolio yang mereka miliki saat ini. Pendapatan baru yang dihasilkan kedua perusahaan bertumpu pada deep water dan LNG.
Sedangkan untuk future new generated dalam energi terbarukan, perusahaan migas di Eropa sudah mulai melakukan dengan pengembangan maupun akuisisi.
Selanjutnya ada perusahaan migas BP, Shell, dan Total yang melakukan pergeseran bisnis ke energi baru dan terbarukan. Perusahaan-perusahaan ini, sebut Nicke, memiliki kekuatan berupa basis teknologi dan mengelola aset dengan menerapkan teknologi untuk carbon capture.
“Teknologi-teknologi yang mereka kerja sama dengan perusahaan yang bisa memberikan technical alliance secara jangka panjang,” sambung Nicke.
Lalu untuk bisnis di hulu atau upstream, ketiganya masih mengandalkan gas dan fokus pada energi karbon juga.
“Dari semua ini, bagaimana dengan Pertamina, terkait dengan sumber daya yang dimiliki Indonesia?” seru Nicke.
Ia menyebut bahwa pemetaan tema dari strategi jangka panjang, Pertamina akan membuka potensi sumber daya yang dimiliki Indonesia dan mengandalkan pasar dalam negeri sebagai tulang punggung pertumbuhan Pertamina ke depan.
Oleh karena itu ada tiga agenda besar yang diadopsi dari perusahaan migas dunia. Pertama, sebagai sumber pendapatan saat ini, Pertamina akan meningkatkan kapasitas di hulu, refinery, dan gas untuk semua bisnis sudah dikembangkan saat ini.
Kedua, sebagai sumber pendapatan baru, Pertamina berencana meningkatkan kapasitas produk petrokimia. Tak hanya fokus pada peningkatan volume produksi petrokimia, Pertamina juga fokus pada produk yang mendatangkan pendapatan tinggi. Termasuk, mulai menggarap produk petrokimia specialty.
“Sebagai contoh dua hari yang lalu kita sudah melakukan kerja sama dengan Kimia Farma untuk mengembangkan bahan baku farmasi. Jadi di Kilang Cilacap kami akan mengembangkan juga bahan baku untuk industri obat-obatan,” paparnya.
Ketiga, Pertamina melihat bahwa Indonesia juga memiliki sumber daya yang besar, baik batu bara maupun sawit. Keduanya akan dikembangkan sebagai sumber energi baru untuk substitusi impor.
Oleh karena itu Pertamina tetap akan menjalankan peta jalan pengembangan bioenergi yang sudah mulai diuji coba sejak 2014 untuk produksi green diesel dari RBDPO.
“Kita juga akan mengembangkan green avtur mulai akhir tahun ini kemudian kita juga akan mengembangkan ke green gasoline,” sebutnya.
Sementara dari cadangan baru bara yang melimpah, Nicke mengatakan, Indonesia memiliki potensi mengembangkan coal gasification menjadi metanol dan DME yang nantinya dipakai sebagai substitusi impor LPG.
“Sehingga nanti Pertamina bisa membantu defisit neraca perdagangan karena kita bisa mengganti impor LPG, yang hari ini mencakup 70% dari permintaan domestik,” ujarnya.