BeritaEkonomiEnergiInternasionalNasional

Presiden Jokowi Siapkan 4 Skema Harga Listrik EBT

BIMATA.ID, JAKARTA- Presiden RI Joko Widodo sudah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pembelian Tenaga Listrik Energi Baru Terbarukan (EBT) oleh PT Perusahaan Listriuk Negara (PLN).

Beleid harga listrik EBT ini dibuat dalam rangka meningkatkan investasi dan untuk mempercepat pencapaian target bauran EBT dalam bauran energi nasional sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN) di mana bauran EBT harus mencapai 23% di tahun 2025.

Mengacu Rancangan Perpres harga listrik EBT yang diterima Kontan.co.id, dalam Pasal 5 beleid itu disebutkan terdapat empat skema dalam harga pembelian tenaga listrik dari pembangkit EBT itu.

Pertama, berdasarkan harga feed in tariff. Kedua, harga penawaran terendah. Ketiga, harga patokan tertinggi dan Keempat, harga kesepakatan.

Rincian penjelasannya harga listrik EBT: Harga pembelian tenaga listrik dengan harga feed in tariff dilakukan dengan ketentuan: a. tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi selama jangka waktu kontrak; dan b. berlaku sebagai persetujuan harga dari Menteri;

Sementara, harga pembelian tenaga listrik dengan harga penawaran terendah dilakukan dengan ketentuan: a. tanpa negosiasi dan tanpa eskalasi selama jangka waktu kontrak; dan b. perlu persetujuan harga dari Menteri.

Lalu, harga pembelian tenaga listrik dengan harga patokan tertinggi dilakukan dengan ketentuan: a. berlaku sebagai harga dasar;  b. berlaku ketentuan eskalasi dalam PJBL atau perjanjian jual beli uap; dan c. berlaku sebagai persetujuan harga dari Menteri.

Dan, harga pembelian tenaga listrik dengan harga kesepakatan sebagaimana dilakukan melalui negosiasi dan perlu persetujuan harga dari Menteri.

Menanggapi beleid ini, Ketua Asosiasi Perusahaan Listrik Tenaga Air (APLTA), Riza Husni menyampaikan, bahwa draft tersebut sudah dibahas oleh pemerintah bersama dengan asosiasi kelistrikan EBT lainnya.

“Aturan itu lebih baik dari yang sekarang. Khususnya untuk pembangkit skala kecil 10 MW,” terangnya kepada Kontan.co.id. Namun, aturan itu bisa terlaksana sepanjang PLN berkeinginan menggunakan EBT.

Mengacu Pasal 6 beleid itu, pembelian tenaga listrik dengan harga feed in tariff diantaranya dilakukan untuk pembelian tenaga listrik dari, PLTA untuk kapasitas pembangkit sampai dengan 20 MW, PLTA yang memanfaatkan tenaga air dari waduk/bendungan atau saluran irigasi yang pembangunannya bersifat multiguna barang milik negara oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sumber daya air.

Kemudian, PLTS atau PLTB untuk kapasitas pembangkit sampai dengan 20, baik yang lahannya disediakan oleh pemerintah maupun yang menggunakan lahan sendiri. Lalu, penambahan kapasitas dari PLTS atau PLTB untuk kapasitas sampai dengan 20 MW,  PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas pembangkit sampai dengan 10 MW , penambahan kapasitas (ekspansi) dari PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas pembangkit sampai dengan 10 MW.

Dan kelebihan tenaga listrik (excess power) dari PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas terkontrak sampai dengan 10 MW.

Nah, untuk pembelian tenaga listrik dengan harga penawaran terendah sebagaimana dilakukan untuk pembelian tenaga listrik dari: PLTS atau PLTB untuk kapasitas pembangkit lebih dari 20 MW baik yang lahannya disediakan oleh pemerintah maupun yang menggunakan lahan sendiri. Lalu, PLTBm atau PLTBg untuk kapasitas pembangkit lebih dari 10 MW.

Sementara untuk pembelian tenaga listrik dengan harga patokan tertinggi dilakukan untuk pembelian tenaga listrik dari PLTP atau pembelian tenaga uap untuk PLTP.

Dan, pembelian tenaga listrik dengan harga kesepakatan untuk pembelian tenaga listrik diantaranya dari: PLTA untuk kapasitas pembangkit lebih dari 20 MW berdasarkan batas harga tertinggi sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Perpres ini.

PLN diberikan insentif

Untuk mendukung jalan beleid itu, dalam Pasal 11, disebutkan bahwa PT PLN (Persero) wajib, membeli tenaga listrik dari pembangkit EBT. Kemudian mengoperasikan pembangkit tenaga listrik yang memanfaatkan sumber energi terbarukan secara terusmenerus (must-run) sesuai dengan karakteristik sumber pembangkit.

Oleh karena adanya kewajiban PLN menyerap itu, maka akan menyebabkan peningkatan biaya pokok pembangkit tenaga listrik PLN. Oleh karena itu, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara memberikan kompensasi kepada PLN berupa pemberian insentif fiskal maupun nonfiskal.

Berikut ketentuan tarif dalam beleid itu:

Harga listrik per kilowatt hour (kWh) untuk PLTA yang memanfaatkan aliran atau terjunan air ditetapkan di kisaran US$ 5,8 sen dikali F untuk kapasitas lebih dari 100 MW hingga tertinggi di US$ 9,36 sen dikali F untuk kapasitas 3-5 MW.

Untuk PLTA yang memanfaatkan bendungan atau fasilitas lain milik Kementerian PUPR, harga listriknya US$ 5,8 sen x 0,9 x F untuk kapasitas lebih dari 100 MW dan US$ 10,55 sen x 0,9 x F untuk kapasitas di bawah 1 MW.

Untuk PLTS, harga listrik ditetapkan dari kisaran US$ 6,5 sen x F untuk kapasitas lebih dari 20 MW hingga US$ 10,8 sen x F untuk kapasitas maksimal 1 MW.

Harga listrik PLTB yakni dari kisaran US$ 10 sen x F untuk kapasitas di atas 20 MW hingga US$ 13,18 sen x F untuk kapasitas di bawah 10 MW. Khusus PLTS dan PLTB, harga tersebut belum termasuk fasilitas baterei.

Harga listrik PLTBm ditetapkan dari kisaran US$ 10,24 sen x F untuk kapasitas lebih dari 10 MW hingga US$ 12,93 sen x F untuk kapasitas maksimal 1 MW. Harga listrik PLTBg ditetapkan dari kisaran US$ 7,66 sen x F untuk kapasitas di atas 10 MW hingga US$ 9,96 sen untuk kapasitas sampai dengan 1 MW.

Untuk PLTP, harga listriknya ditetapkan sebesar US$ 4,56 sen per kWh untuk kapasitas di atas 100 MW, US$ 5,57 sen untuk kapasitas 50-100 MW, US$ 6,26 sen untuk kapasitas 10-50 MW, dan paling tinggi US$ 6,8 sen per kWh untuk kapasitas hingga 10 MW.

Namun, khusus panas bumi, pemerintah dapat melakukan eksplorasi atau memberikan kompensasi biaya eksplorasi dan pengembangan infrastruktur kepada pengembang.

Tags

Tulisan terkait

Bimata
Close